Pages

Kamis, Desember 18, 2008

Patung Laia : SILATAONA (NI'OMANU)



Patung Laia Menurut E.E.W.Gs. Schröder
Dalam jilid ke-2 dari buku E.E.W.Gs. Schröder yang berjudul NIAS (1917) kita melihat foto-foto patung-patung kayu pada rumah bangsawan (Omo Ruyu) di Bawömataluo dalam bentuk ayam jantan yang digantung atau dipasang pada langit-langit rumah itu bersama dengan piring-piring keramik besar, tulang-tulang rahang bawah dari babi, gendang, tambur dll. Patung-patung ayam jantan itu dalam buku Schröder disebut la’ija. Pada masa kini, “Lai’ja“ ditulis menjadi la’ia.
Mengapa Schröder menterjemahkan la’ia dengan ayam jantan? Tidak sulit untuk dijawab. Karena 100 tahun yang lalu, demikianlah informasi yang diberikan kepadanya dari desa Bawömataluo. Lalu siapakah yang pernah meneliti arti kata la’ia atau asal nama marga La’ia? Marilah mendengar penjelasan Ama Zaro Baene, si’ulu di desa Hilidohöna, kecamatan Lahusa. Beliau mengetahui banyak hal yang menyangkut sejarah atau budaya di daerah Talu Zusua. Soal la’ia dijelaskanya sebagai berikut di bawah ini.
Pada zaman dulu hidup seorang yang gagah berani dan kuat sekali. Di dalam desanya di wilayah Gomo tak seorangpun sanggup melawan dia. Ayam jantan “silataona,“ telah menjadi lambangnya. Nama orang itu ialah La’iana. Lama-kelamaan namanya disingkat menjadi La’ia. Dan dengan nama singkat itu dia menjadi leluhur marga La’ia.
Terima kasih kepada Ama Zaro atas keterangan ini. Berdasarkan keterangan ini kami bisa mengerti kebiasaan di Bawömataluo lebih seratus tahun silam, dan tentu di desa lain juga di kecamatan Teluk Dalam, untuk memasang patung ayam jantan itu di rumah bangsawan tertinggi.
Marilah mencari penjelasan lebih lanjut lagi tentang patung La’ia atau Silataona. Di wilayah Talu Zusua, yang sebagian termasuk wilayah kecamatan Lahusa dan sebagian di kecamatan Gomo, kita menemukan banyak Mikrolit yang berbentuk ayam dsb.
Apa itu Mikrolit? Kata Mikrolit dalam bahasa Yunani adalah lawan kata dari Megalit. Kalau megalit diartikan sebagai batu besar, maka mikrolit berarti batu kecil. Di wilayah Talu Zusua terdapat banyak sekali mikrolit. Patung-patung kecil itu dari batu disebut ni’omanu, yang berarti: dibentuk seperti ayam.
Kendatipun dikatakan ni’omanu, dibentuk seperti ayam, namun bentuknya bukan ayam saja. Ni’omanu terdapat dalam berbagai rupa: burung elang (anöwö), burung enggang (gogowaya), ayam jantan (silataona), rusa kecil (ni’omböhö), patung yang berkepala tiga (sitöluhögö) dll. Semua mikrolit itu diletakan di atas puncak suatu menhire. Kemudian kelihatan mikrolit itu seperti bertakhta di atas. Ni’omanu yang diagungkan itu melambangkan bangsawan. Dan bangsawan itu selalu suka berdiri atau duduk di atas seperti ayam jantan (la’ia, silataona) atau ibarat seekor burung yang bertengger di atas pohon yang tinggi. Ia memiliki posisi tertinggi. Menhire, dimana patung ni’omanu diletakan di atasnya, di Talu Zusua boleh dipahat, boleh juga tidak. Lebih sering menhire itu tidak dipahat. Dan kalau dipahat, maka sering sekali terdapat tingkatan-tingkatan (bosi) atau dipahat dalam bentuk Saita Gari (tempat menggantungkan senjata Gari). Rupanya pengaruh dari si La’iana di Gomo begitu kuat, sehingga patung ayam jantan di Maenamölö, kecamatan Teluk Dalam, tidak disebut silataona dan tidak pula ni’omanu, melainkan la’ia.
Tinggal satu pertanyaan lagi. Mengapa patung itu di Gomo dipahat dari batu dan di Maenamölö diukir dari kayu?
Jawabananya yaitu materi setempat menentukan. Di Lahusa-Gomo ditemukan sejenis batu dari zat kapur, limestone, yang cukup lunak dan tidak sulit untuk dibentuk. Maka materi itu mendorong manusia di wilayah Talu Zusua untuk mengukir atau memahat berbagai patung batu dengan aneka ragam bentuk dan ekspresi yang fantastik. Sedangkan jenis batu yang kita temukan di Bawömataluo dan Maenamölö, kecamatan Teluk, sering berasal dari sungai Batu Mbuaya.
Batu hitam (batu itö) yang cukup keras sehingga sulit dipahat. Membentuk mikrolit atau ni’omanu dari batu keras tanpa perkakas yang memadai tidak mungkin. Jalan keluar ialah mengukir patung Silataona dari kayu.Sama halnya dengan Osa-osa batu yang berlimpah ruah di wilayah Talu Zusua. Karena materi batu di daerah lain tidak memungkinkan untuk memahat usungan itu dari batu, maka mereka membentuk usungan itu dari kayu. Karena kayu lama-kelamaan lapuk dan dibuang, maka usungan itu tidak dapat kita lihat lagi atau kalau pun ada, jarang sekali.
Mari kita ke Tetehösi Idanoi. Di situ masih disimpan satu osa-osa kayu yang dipakai dulu oleh Amada Kainu. Kepala dan keempat kaki usungan itu seperti rusa (ni’oböhö).
Pada paragraf (§) 898, Schröder menguraikan tingkatan pesta jasa (owasa) di desa Bawömataluo. Bagian pertama dapat dilaksanakan oleh masyarakat biasa. Schröder menyebut 5 pesta. Informasi yang diberikan kepada Schröder, bahwa 5 pesta itu diadakan pada 5 hari berturut-turut, seolah-olah merupakan satu pesta saja: 1. Folala (membuka jalan); 2. Lawira (membuat patung lawira); 3. Galu batu (ialah kedua tempat (galu) yang di dalamnya mereka meletakan persembahan satu telur, satu patung dari areka dan satu gelang atau öri yang dibuat dari gong yang sudah rusak); 4. Batu atau Manaru batu (mendirikan batu); 5. Mofö batu (menggosokan batu supaya menjadi licin). Kemudian sekitar satu tahun sesudahnya boleh menyusul pesta ke-6, Manibo atau Si botö (Schröder menulis manebo). Dengan merayakan pesta ini seorang dari rakyat biasa sudah mencapai targetnya atau batas.
Pesta-pesta lain hanya diperbolehkan bagi bangsawan atau si’ulu. 7. Su’atö atau manu’a (ukuran atau mengukur); 8. tuli lala (menumpuk/ menyentuh (?) jalan; 9. La’ia (ayam jantan); 10. Fawöwökha ba ewali; 11. Fawöwökha ba mbale (Schröder menulis ba bale); 12. Mobinu (Schröder menulis mobenu). Pada pesta ke-9 itu Schröder menghunjuk fotonya Nr. 147 yang memperlihatkan satu patung kayu ayam jantan di rumah bangsawan desa Bawömataluo.
Jilid kedua buku Schröder hanya memuat foto-foto. Dan Schröder mengutip lagi kedua misionaris Fehr dan Lett. Menurut Fehr: “adu la’ia itu merupakan adu ba wa’awalia,“ patung pada penyelesaian. Artinya, seorang si’ulu yang sudah mendekati puncak dalam rangkaian pesta harus merayakan pesta la’ia dan membuat satu patung ayam jantan dari kayu. (Fehr, hlm 12, sub. 15).
Dan kutipan dari Lett berbunyi: “Einen Hahn zum Zeichen, dass der Vertrag geschlossen ist“ (Lett, II hlm 64). Artinya: “Satu ayam jantan sebagai tanda, bahwa kontrak sudah syah.“ Schröder mendengar lagi keterangan, bahwa seorang bangsawan baru menjadi seorang si’ulu sempurna (si’ulu si ma awali), kalau dia sudah merayakan kedua pesta fawöwökha. Kemudian tinggal lagi mobinu, mengambil atau memenggal kepala seorang manusia atau membunuh seorang budak. Demikianlah keterangan dari Schröder.
Kiranya melalui tulisan ini arti kata la’ia dan peranan patung la’ia makin jelas. Alangkah baik seandainya masih ditemukan seorang dari keturunan leluhur La’iana yang dapat menambahkan lagi beberapa informasi. Atau kita harapkan informasi dari daerah dan desa Luzamanu di sebelah utara pulau Nias. Pernah saya dengar, bahwa luzamanu juga berasal dari budaya di daerah Talu Zusua itu dalam arti meletakan (ni’o)manu ke atas, menjunjung tinggi ayam.

Oleh: P. Johannes M. Hammerle, OFMCap.
Sumber asli : E.E.W.Gs. Schröder, “NIAS, Ethnographische, Geographische end Historische Aanteekeningen en Studien,” tahun1917, Brill, Leiden 1917, § 898, 1239 dan 1326

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar !