Pages

Kamis, Desember 24, 2009

SELAMAT NATAL 25-12-2009 & TAHUN BARU 01-01-2010

YAAHOWU FANUNUFANDRU 25-12-2009 BA DOFI SI BOHOU 1-1-2010
YA MUTOLO ITA AMA BA YA MUROROGO ITA BA NGAWALO HALOWODA, YAADUHU!
Semoga Terang Lilin Natal selalu Menyertai kita dalam menyonsong tahun yang baru


Making the family as a cultural force prosperous and harmonious

Rabu, Desember 16, 2009

Perayaan Natal Kolom 8 GMIM Petra Manado

Manado, 11 Desember 2009









Making the family as a cultural force prosperous and harmonious

Minggu, Desember 13, 2009

Yang Tidak Bisa Diucapkan Seorang Ayah

Pentahbisan orangtua kami menjadi SNK di gereja BNKP Hilisatarö


Biasanya, bagi seorang anak perempuan yang sudah dewasa, yang sedang bekerja diperantauan, yang ikut suaminya merantau di luar kota atau luar negeri, yang sedang bersekolah atau kuliah jauh dari kedua orang tuanya.. akan sering merasa kangen sekali dengan Ibunya.

Lalu bagaimana dengan AYAH?

Mungkin karena Ibu lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaanmu setiap hari, tapi tahukah kamu, jika ternyata AYAH-lah yang mengingatkan Ibu untuk menelponmu?

Mungkin dulu sewaktu kamu kecil, Ibu-lah yang lebih sering mengajakmu bercerita atau berdongeng, tapi tahukah kamu, bahwa sepulang AYAH bekerja dan dengan wajah lelah AYAH selalu menanyakan pada Ibu tentang kabarmu dan apa yang kau lakukan seharian?

Pada saat dirimu masih seorang anak perempuan kecil.. AYAH biasanya mengajari putri kecilnya naik sepeda. Dan setelah AYAH mengganggapmu bisa, AYAH akan melepaskan roda bantu di sepedamu...

Kemudian Ibu bilang : "Jangan dulu AYAH, jangan dilepas dulu roda bantunya"

Ibu takut putri manisnya terjatuh lalu terluka....

Tapi sadarkah kamu?

Bahwa AYAH dengan yakin akan membiarkanmu, menatapmu, dan menjagamu mengayuh sepeda dengan seksama karena dia tahu putri kecilnya PASTI BISA.

Pada saat kamu menangis merengek meminta boneka atau mainan yang baru, Ibu menatapmu iba. Tetapi AYAH akan mengatakan dengan tegas : "Boleh, kita beli nanti, tapi tidak sekarang"

Tahukah kamu, AYAH melakukan itu karena AYAH tidak ingin kamu menjadi anak yang manja dengan semua tuntutan yang selalu dapat dipenuhi?

Saat kamu sakit pilek, AYAH yang terlalu khawatir sampai kadang sedikit membentak dengan berkata : "Sudah di bilang! kamu jangan minum air dingin!".

Berbeda dengan Ibu yang memperhatikan dan menasihatimu dengan lembut. Ketahuilah, saat itu AYAH benar-benar mengkhawatirkan keadaanmu.

Ketika kamu sudah beranjak remaja.... Kamu mulai menuntut pada AYAH untuk dapat izin keluar malam, dan AYAH bersikap tegas dan mengatakan: "Tidak boleh!".

Tahukah kamu, bahwa AYAH melakukan itu untuk menjagamu? Karena bagi AYAH, kamu adalah sesuatu yang sangat - sangat luar biasa berharga..

Setelah itu kamu marah pada AYAH, dan masuk ke kamar sambil membanting pintu... Dan yang datang mengetok pintu dan membujukmu agar tidak marah adalah Ibu....

Tahukah kamu, bahwa saat itu AYAH memejamkan matanya dan menahan gejolak dalam batinnya, bahwa AYAH sangat ingin mengikuti keinginanmu, tapi lagi-lagi dia HARUS menjagamu?

Ketika saat seorang cowok mulai sering menelponmu, atau bahkan datang ke rumah untuk menemuimu, AYAH akan memasang wajah paling cool sedunia.... :

AYAH sesekali menguping atau mengintip saat kamu sedang ngobrol berdua di ruang tamu..

Sadarkah kamu, kalau hati AYAH merasa cemburu?

Saat kamu mulai lebih dipercaya, dan AYAH melonggarkan sedikit peraturan untuk keluar rumah untukmu, kamu akan memaksa untuk melanggar jam malamnya.

Maka yang dilakukan AYAH adalah duduk di ruang tamu, dan menunggumu pulang dengan hati yang sangat khawatir...dan setelah perasaan khawatir itu berlarut- larut... ketika melihat putri kecilnya pulang larut malam hati AYAH akan mengeras dan AYAH memarahimu.. .

Sadarkah kamu, bahwa ini karena hal yang di sangat ditakuti AYAH akan segera datang? "Bahwa putri kecilnya akan segera pergi meninggalkan AYAH"

Setelah lulus SMA, AYAH akan sedikit memaksamu untuk menjadi seorang Dokter atau Insinyur.

Ketahuilah, bahwa seluruh paksaan yang dilakukan AYAH itu semata - mata hanya karena memikirkan masa depanmu nanti...

Tapi toh AYAH tetap tersenyum dan mendukungmu saat pilihanmu tidak sesuai dengan keinginan AYAH

Ketika kamu menjadi gadis dewasa.... dan kamu harus pergi kuliah dikota lain... AYAH harus melepasmu di bandara.

Tahukah kamu bahwa badan AYAH terasa kaku untuk memelukmu?

AYAH hanya tersenyum sambil memberi nasehat ini - itu, dan menyuruhmu untuk berhati-hati. .

Padahal AYAH ingin sekali menangis seperti Ibu dan memelukmu erat-erat.

Yang AYAH lakukan hanya menghapus sedikit air mata di sudut matanya, dan menepuk pundakmu berkata "Jaga dirimu baik-baik ya sayang".

AYAH melakukan itu semua agar kamu KUAT...kuat untuk pergi dan menjadi dewasa.

Disaat kamu butuh uang untuk membiayai uang semester dan kehidupanmu, orang pertama yang mengerutkan kening adalah AYAH.

AYAH pasti berusaha keras mencari jalan agar anaknya bisa merasa sama dengan teman-temannya yang lain.

Ketika permintaanmu bukan lagi sekedar meminta boneka baru, dan AYAH tahu ia tidak bisa memberikan yang kamu inginkan...

Kata-kata yang keluar dari mulut AYAH adalah : "Tidak.... Tidak bisa!"

Padahal dalam batin AYAH, Ia sangat ingin mengatakan "Iya sayang, nanti AYAH belikan untukmu".

Tahukah kamu bahwa pada saat itu AYAH merasa gagal membuat anaknya tersenyum?

Saatnya kamu diwisuda sebagai seorang sarjana.

AYAH adalah orang pertama yang berdiri dan memberi tepuk tangan untukmu.

AYAH akan tersenyum dengan bangga dan puas melihat "putri kecilnya yang tidak manja berhasil tumbuh dewasa, dan telah menjadi seseorang"

Sampai saat seorang teman Lelakimu datang ke rumah dan meminta izin pada AYAH untuk mengambilmu darinya.

AYAH akan sangat berhati-hati memberikan izin..

Karena AYAH tahu.....

Bahwa lelaki itulah yang akan menggantikan posisinya nanti.

Dan akhirnya.... Saat AYAH melihatmu duduk di Panggung Pelaminan
bersama seseorang Lelaki yang di anggapnya pantas menggantikannya, AYAH
pun tersenyum bahagia....

Apakah kamu mengetahui, di hari yang bahagia itu AYAH pergi kebelakang panggung sebentar, dan menangis?

AYAH menangis karena AYAH sangat berbahagia, kemudian AYAH berdoa.... Dalam lirih doanya kepada Tuhan, AYAH berkata: "Ya Tuhan tugasku telah selesai dengan baik.... Putri kecilku yang lucu dan kucintai telah menjadi wanita yang cantik.... Bahagiakanlah ia bersama suaminya..."

Setelah itu AYAH hanya bisa menunggu kedatanganmu bersama cucu-cucunya yang sesekali datang untuk menjenguk...

Dengan rambut yang telah dan semakin memutih.... Dan badan serta lengan yang tak lagi kuat untuk menjagamu dari bahaya....

AYAH telah menyelesaikan tugasnya....

AYAH, Bapak, Papa atau Abah kita... Adalah sosok yang harus selalu terlihat kuat... Bahkan ketika dia tidak kuat untuk tidak menangis...

Dia harus terlihat tegas bahkan saat dia ingin memanjakanmu. .

Dan dia adalah orang pertama yang selalu yakin bahwa "KAMU BISA" dalam segala hal..

Making the family as a cultural force prosperous and harmonious

Mujizat Itu Nyata oleh Yg Tidak Diperhitungkan!

Kisah nyata ini terjadi di sebuah Rumah Sakit di Tennessee, USA. Seorang ibu muda, Karen namanya sedang mengandung bayinya yang ke dua. Sebagaimana layaknya para ibu, Karen membantu Michael anaknya pertama yang baru berusia 3 tahun bagi kehadiran adik bayinya. Michael senang sekali akan punya adik. Kerap kali ia menempelkan telinganya diperut ibunya. Dan karena Michael suka bernyanyi, ia pun sering menyanyi bagi adiknya yang masih diperut ibunya itu. Nampaknya Michael amat sayang
sama adiknya yang belum lahir itu.

Tiba saatnya bagi Karen untuk melahirkan. Tapi sungguh diluar dugaan, terjadi komplikasi serius. Baru setelah perjuangan berjam-jam adik Michael dilahirkan. Seorang bayi putri yang cantik, sayang kondisinya begitu buruk sehingga dokter yang merawat dengan sedih berterus terang kepada Karen; bersiaplah jika sesuatu yang tidak kita inginkan terjadi.

Karen dan suaminya berusaha menerima keadaan dengan sabar dan hanya bisa pasrah kepada yang Kuasa. Mereka bahkan sudah menyiapkan acara penguburan buat putrinya sewaktu-waktu dipanggil Tuhan. Lain halnya dengan kakaknya Michael, sejak adiknya dirawat di ICU ia merengek terus!

Mami, ... aku mau nyanyi buat adik kecil! Ibunya kurang tanggap.
Mami, ... aku pengen nyanyi! Karen terlalu larut dalam kesedihan dan kekuatirannya.
Mami, ... aku kepengen nyanyi! Ini berulang kali diminta
Michael bahkan sambil meraung menangis. Karen tetap menganggap rengekan Michael rengekan anak kecil. Lagi pula ICU adalah daerah terlarang bagi anak-anak.

Baru ketika harapan menipis, sang ibu mau mendengarkan Michael. Baik, setidaknya biar Michael melihat adiknya untuk yang terakhir kalinya. Mumpung adiknya masih hidup! Ia dicegat oleh suster didepan pintu kamar ICU. Anak kecil dilarang masuk!. Karen ragu-ragu. Tapi, suster.... suster tak mau tahu; ini peraturan! Anak kecil dilarang dibawa masuk!

Karen menatap tajam suster itu, lalu katanya: Suster, sebelum menyanyi buat adiknya, Michael tidak akan kubawa pergi! Mungkin ini yang terakhir kalinya bagi Michael melihat adiknya! Suster terdiam menatap Michael dan berkata, tapi tidak boleh lebih dari lima menit!.

Demikianlah kemudian Michael dibungkus dengan pakaian khusus lalu dibawa masuk ke ruang ICU. Ia didekatkan pada adiknya yang sedang tergolek dalam sakratul maut. Michael menatap lekat adiknya ... lalu dari mulutnya yang kecil mungil keluarlah suara nyanyian yang nyaring "... You are my sunshine, my only sunshine, you make me happy when skies are grey ..." Ajaib! si Adik langsung memberi respon. Seolah ia sadar akan sapaan sayang dari kakaknya.

You never know, dear, How much I love you. Please don't take my sunshine away. Denyut nadinya menjadi lebih teratur. Karen dengan haru melihat dan menatapnya dengan tajam dan terus, ... terus Michael! teruskan sayang! ... bisik ibunya ... The other night, dear, as I laid sleeping, I dream, I held you in my hands ... dan sang adikpun meregang, seolah menghela napas panjang. Pernapasannya lalu menjadi teratur ... I'll always love you and make you happy, if you will only stay the same ... Sang adik kelihatan begitu tenang ... sangat tenang.

Lagi sayang! bujuk ibunya sambil mencucurkan air matanya. Michael terus bernyanyi dan ... adiknya kelihatan semakin tenang, relax dan damai ... lalu tertidur lelap.

Suster yang tadinya melarang untuk masuk, kini ikut terisak-isak menyaksikan apa yang telah terjadi atas diri adik Michael dan kejadian yang baru saja ia saksikan sendiri.

Hari berikutnya, satu hari kemudian si adik bayi sudah diperbolehkan pulang. Para tenaga medis tak habis pikir atas kejadian yang menimpa pasien yang satu ini. Mereka hanya bisa menyebutnya sebagai sebuah therapy ajaib, dan Karen juga suaminya melihatnya sebagai Mujizat Kasih Ilahi yang luar biasa, sungguh amat luar biasa! tak bisa mengungkapkan dengan kata-kata.

Bagi sang adik, kehadiran Michael berarti soal hidup dan mati. Benar bahwa memang Kasih Ilahi yang menolongnya. Dan ingat Kasih Ilahi pun membutuhkan mulut kecil si Michael untuk mengatakan "How much I love you".

Dan ternyata Kasih Ilahi membutuhkan pula hati polos seorang anak kecil "Michael" untuk memberi kehidupan. Itulah kehendak Tuhan, tidak ada yang mustahil bagiNYA bila IA menghendaki terjadi.


Note:
Kadang hal-hal yang menentukan ... dalam diri orang lain ... Datang dari seseorang yang kita anggap lemah ... Hadir dari seseorang yang kita tidak pernah perhitungkan ... maka bukalah mata hati kita mana tahu yang datang itu adalah pertolongan dari Tuhan sekalipun datangnya dalam wujud yang lain.
Making the family as a cultural force prosperous and harmonious

Kamis, November 26, 2009

MEMBUAT UMUR LEBIH PANJANG: LAKUKAN HAL SEPELE !

Rata-rata manusia umumnya berumur hingga 60-80 tahun. Sangat jarang manusia yang bisa hidup hingga 90 atau 100 tahun lebih, namun bukan tidak mungkin Anda dapat mencapainya. Kemajuan teknologi, kesehatan, pendidikan, pencegahan penyakit serta penanganan-penangan an tertentu mungkin saja bisa memanipulasi dan membuat seseorang memiliki hidup yang lebih panjang.

Namun Anda akan terkejut jika tahu bahwa semua itu bisa diraih hanya dengan kebiasaan-kebiasaan sederhana dan tidak begitu penting yang mungkin Anda lakukan setiap harinya. Berdasarkan studi terbaru mengenai hidup lebih panjang yang dikutip dari Prevention, Senin (10/8/2009), terdapat 10 tanda seseorang yang kemungkinan akan mencapai umur panjang.

Nah ini dia tanda-tandanya

Quote:

1. Anda Dilahirkan Ketika Ibu Anda Masih Muda

Berdasarkan penelitian dari University of Chicago, ibu muda masih memiliki sel telur yang sangat baik untuk fertilisasi, yang memungkinkan untuk menghasilkan anak yang lebih sehat, kuat dan berumur lebih panjang.

Quote:

2. Anda Pecinta Teh

Lebih dari 40.500 orang wanita maupun pria di Jepang yang terlibat studi tentang efek mengonsumsi teh terhadap kesehatan menunjukkan risiko penyakit jantung dan stroke yang lebih rendah dibanding mereka yang jarang mengonsumsi teh.

Quote:

3. Anda Lebih Suka Jalan Kaki Ketimbang Naik Kendaraan

Orang-orang yang fit selalu mengutamakan jalan kaki, apakah itu hanya untuk makan siang atau pergi ke mall. Berjalan kaki 30 menit setiap harinya akan memperpanjang umur, berdasarkan studi terhadap 2.603 wanita dan pria.

Quote:

4. Anda Menghindari Minuman-minuman Bersoda

Para peneliti di Boston menemukan bahwa mereka yang mengonsumsi minuman soda setiap harinya meningkatkan risiko penyakit diabetes, jantung dan gangguan metabolik lainnya. Meminum jus akan lebih sehat untuk tubuh Anda.

Quote:

5. Anda Memiliki Kaki Yang Kuat

Menurut Robert Butler, MD, dari International Longevity Center—USA in New York City, mereka yang memiliki otot-otot kaki yang lemah diperkirakan tidak akan berumur panjang karena mudah mengalami komplikasi pada tulangnya.

Quote:

6. Anda Mengonsumsi Makanan Berwarna Ungu

Buah-buahan seperti anggur, blueberry dan makanan lainnya yang berwarna ungu kaya akan polifenol yang sangat baik untuk mengurangi penyakit jantung, Alzheimer dan meningkatkan kemampuan sel-sel otak.

Quote:

7. Anda Termasuk Remaja dengan berat Badan Ideal dan Sehat

Sebuah studi dalam Journal of Pediatrics yang melibatkan 137 orang Afrika dan Amerika menyebutkan bahwa mereka yang memiliki kelebihan berat badan pada usia 14 tahun ke atas memiliki risiko diabetes dua kali lipat pada saat dewasanya.

Quote:

8. Anda Menyukai Teman-teman Anda dan Sering Berinteraksi dengan Mereka

“Hubungan interpersonal yang baik bertindak sebagai pelawan stres dan penyeimbang hidup Anda,” ujar Micah Sadigh, PhD, seorang psikolog dari Cedar Crest College. Memiliki orang-orang yang mendukung Anda akan membuat Anda lebih sehat secara fisik dan mental. Mereka yang stres akan memiliki daya tahan tubuh yang lemah dan bisa memperpendek umur hingga 4-8 tahun.

Quote:

9. Anda Menyukai Tantangan

“Ketika Anda merasa tertantang mengerjakan sesuatu, perhatian Anda akan terfokus dan otak akan memiliki kekuatan yang lebih besar, dan hal itu bisa memperpanjang hidup Anda,” ujar Robert S. Wilson, PhD, profesor neurological sciences and psychology at Rush University Medical Center in Chicago.

Quote:

10. Anda tidak memiliki pembantu di rumah

Berdasarkan studi terhadap 302 orang dewasa dengan umur 70 dan 80 tahun, hanya dengan mengepel, mencuci atau membersihkan jendela beberapa jam, seseorang dapat membakar 285 kalori dan menurunkan risiko kematian hingga 30 persen.

article by:Yuni Lam
photo:http://blog.cncahealth.com/

Making the family as a cultural force prosperous and harmonious


Sabtu, Oktober 31, 2009

PUSATKAN PIKIRAN PADA YANG BAIK DAN BENAR

”Hal Kerajaan Sorga itu seumpama orang yang menaburkan benih yang baik di ladangnya.” Matius 13:24


Seorang penulis buku terkenal, John C. Maxwell, mengatakan bahwa sesungguhnya medan peperangan terbesar ada di pikiran manusia. Pikiran itu sangat kuat dan dapat mempengaruhi kehidupan seseorang. Oleh karena itu kita harus berhati-hati dengan pikiran kita. Ada pepatah yang mengatakan: ”Menabur dalam pikiran akan menuai tindakan; menabur dalam tindakan akan menuai kebiasaan; menabur kebiasaan akan menuai karakter dan menabur karakter akan menuai tujuan hidup.”


Pikiran kita seperti tanah, tidak pernah memilih dan mempedulikan jenis benih apa yang hendak kita tanam. Jika kita menabur benih jagung, tanah akan meresponsnya, lalu menumbuhkannya. Begitu juga bila kita menabur benih padi atau mungkin lalang, rumput liar dan juga tanaman-tanaman pengganggu sekali pun, tanah tetap saja akan merespons benih itu dan menumbuhkannya juga.


Apa pun yang kita tanamkan dalam pikiran, entah itu hal-hal yang baik atau pun negatif, pikiran kita akan segera menerima, merespons dan menumbuhkannya, tidak peduli hal itu akan berdampak positif/negatif terhadap kehidupan kita: membawa kepada keberhasilan atau sebaliknya menuju kehancuran. Sadar atau tidak, seringkali kita memperkatakan hal-hal buruk tentang diri kita sendiri: hidupku penuh masalah, aku tidak akan berhasil, sakitku tidak akan sembuh, keluargaku hancur berantakan, aku bodoh, aku tidak punya apa-apa (miskin), masa depanku suram dan sebagainya. Hal-hal negatif yang kita ucapkan itu akan direspons oleh pikiran kita dalam bentuk sikap dan tindakan, yang pada saatnya akan menghasilkan sesuatu yang sama persis seperti yang kita tanam. Namun bila yang kita tanam hal-hal positif: semangat atau rasa percaya diri, pikiran kita juga akan merespons hal itu ke dalam sikap dan tindakan kita sehingga hidup kita akan menjadi seperti yang kita harapkan. Oleh karenanya firman Tuhan mengingatkan, ”...semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” (Filipi 4:8).


Benih yang kita tanam dalam pikiran menentukan hasil akhir kehidupan kita!

Making the family as a cultural force prosperous and harmonious

Rabu, September 09, 2009




Making the family as a cultural force prosperous and harmonious

USS George Washington Semarakan Sail Bunaken Manado


Pesawat dari Carrier Air Wing 7 (CVW-7) flying pass diatas USS George Washington. (Foto: navsource.org)

19 Agustus 2009, Manado -- Kapal induk Amerika Serikat (AS), USS George Washington, akan menyemarakkan "event" internasional Sail Bunaken, di Teluk Manado, Sulawesi Utara (Sulut).

"Kapal induk akan mengirimkan sejumlah pesawat tempur pada `Sailing dan Flying Pass` pada 19 Agustus 2009," kata Panglima Laut AS, Admiral Garry Roughead, di Manado, Selasa.

Kapal induk AS itu sudah berada di perairan Sulut, dan direncanakan akan dilakukan kunjungan perdana para pejabat Pemprov Sulut dan jajaran Muspida, di geladak kapal yang bisa memuat 75 pesawat tempur melalui Bandara Sam Ratulangi, Manado.

Bahkan beberapa pesawat tempur milik AS tersebut, di antaranya empat unit F-18 Hornet, satu pesawat E AG dan pesawat E2C yang merupakan pesawat intai marinir, sudah melakukan latihan (cek rute) di Teluk Manado.

Sementara empat kapal perang AS dipastikan ikut Sailing Pass yang dijadwalkan akan disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan sejumlah pejabat Indonesia serta jajaran admiral dari 33 negara.

"Kedatangan USS George Washington diketahui Presiden Barack Obama, dan tentu merupakan penghargaan tersendiri pada undangan parade kapal perang di Indonesia," katanya.

Kapal ini menampung 4.500 personil yang mengoperasikan berbagai sistem dan sub sistem, terdapat didalamnya, termasuk teknisi, pakar pesawat tempur, pakar helikopter dan pakar transportasi.

Berdasarkan jenisnya, kekuatan kapal tersebut berasal dari dua westinghouse brand A4W reaktor nuklir dengan kekuatan 4 x steam turbin sampai 4 x shafts dengan produksi hingga 260.000 shaft tenaga kuda, kecepatan tertingginya mencapai 30 knot.

"Saya sangat mengetahui seluk beluk USS George Washinton karena cukup lama meminpin kapal induk tersebut, itu seperti kota kecil AS di laut," kata Garry.

Freddy Numberi Naik USS George Washington

Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi diizinkan pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk mengunjungi Kapal Induk USS George Washington, kata Asisten Intelejen Lantamal VIII Suhartono, di Manado, Selasa.

"Kapal induk AS itu sudah berada di perairan Sulawesi Utara (Sulut), hanya saja izin mengunjungi dibatasi pemerintah AS. Pemberian manifest dari pemerintah AS hanya dizinkan 20 orang, itu sangat terbatas dalam berkunjung" katanya.

Ia menjelaskan, beberapa pejabat lain yang diijinkan yaitu Danlatamal VIII Manado Willem Rampangiley, Kapolda Sulut Bekto Suprapto, anggota DPR RI Yoris Raweyai serta sejumlah wartawan.

ANTARA News

Making the family as a cultural force prosperous and harmonious

Kamis, September 03, 2009

Mengapa Menyimpan Aspirin di Dekat Tempat Tidur?


Mengenai serangan jantung

Ada tanda-tanda lain dari serangan jantung selain sakit di lengan kiri.

Anda juga harus berhati2 terhadap gejala2 rasa sakit yang amat sangat
pada dagu, maupun mual (nausea) dan banyak berkeringat, namun tanda-tanda
ini dapat terjadi lebih jarang.

Catatan: Ada kemungkinan tidak ada kesakitan pada dada pada saat serangan
jantung.

Kebanyakan orang (sekitar 60%) yang terkena serangan jantung pada saat
tidur, tidak terbangun lagi. Namun, bila terjadi, rasa sakit pada dada
dapat membangunkan Anda dari tidur. Bila itu terjadi, segera larutkan dua
aspirin dalam mulut Anda dan telan dengan sedikit air.

Setelah itu
- telepon tetangga atau anggota keluarga yang tinggal dekat dengan Anda
- katakan "serangan jantung!"
- katakan bahwa Anda telah meminum 2 aspirin.
- duduk di atas kursi atau sofa dekat dengan pintu depan, dan tunggu
kedatangan mereka dan...
~Jangan berbaring~

Seorang kardiolog menyatakan bahwa, bila setiap orang, setelah menerima
e-mail ini, mengirim ke 10 orang, mungkin satu jiwa dapat diselamatkan!

Saya telah berbagi informasi ini- - Bagaimana dengan Anda?

Teruskan informasi ini; yang akan menyelamatkan hidup!
(Sumber: Email Publik)


Konsumsi Aspirin Setiap Hari Banyak Bahayanya Dibanding Manfaatnya
London, (Analisa)

Orang yang sehat dan setiap hari mengkonsumsi aspirin guna mencegah serangan jantung mungkin melakukan tindakan yang lebih banyak bahayanya daripada manfaatnya buat diri mereka, demikian satu studi baru oleh para ilmuwan Inggris dirilis, J

Para peneliti mendapati bahwa risiko pendarahan akibat mengkonsumsi aspirin sangat besar sehingga penggunaan rutin obat tersebut oleh orang yang sehat "tak dapat didukung", kendati mereka tak mempersoalkan penggunaannya oleh pasien dengan sejarah gangguan pembuluh darah.

Hasil dari studi "Aspirin for Asymptomatic Atherosclerosis (AAA)" memberi tambahan pada perdebatan lama mengenai apakah potensi bahaya dari mengkonsumsi aspirin dapat mengalahkan manfaatnya dalam mengurangi resiko pembekuan darah.

"Kami tahu banyak pasien dengan gejala penyakit pembuluh darah, seperti 'angina', serangan jatung atau stroke, dapat mengurangi risiko gangguan lebih lanjut dengan mengkonsumsi dosis kecil aspirin setiap hari," kata Profesor Peter Weissberg, Direktur Medis di Yayasan Jantung Inggris, yang membantu mendanai penelitian tersebut.

"Temuan studi ini sesuai dengan saran kami saat ini bahwa orang yang tak memiliki gejala atau didiagnosis menderita penyakit pembuluh darah atau jantung tak boleh mengkonsumsi aspirin, karena risiko pendarahan mungkin lebih besar daripada manfaatnya," katanya. (Ant/AFP)

Making the family as a cultural force prosperous and harmonious

Senin, Agustus 17, 2009

Dirgahayu Republik Indonesia 64 Tahun



Jayalah Bangsa Indonesia,
MERDEKA...!
MERDEKA...!!
MERDEKA...!!!

Kiranya Bangsa Indonesia Makmur dan Sejahtera
Menjadi Bangsa yang Maju
Menjadi Bangsa yang takut akan Tuhan

Making the family as a cultural force prosperous and harmonious

Jumat, Agustus 14, 2009

Kita Harus Punya The Winning Spirit

Jenderal Douglas MacArthur pernah membuat sebuah puisi yang luar biasa. Puisi itu adalah cermin seorang ayah yang mengharapkan anaknya kelak mampu menjadi manusia yang ber Tuhan sekaligus mampu menjadi manusia yang tegar, tidak cengeng, tidak manja, dan bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri.

Seperti contoh sepenggal puisinya itu yang berbunyi, "Jangalah pimpin putraku di jalan yang mudah dan lunak, tuntunlah dia di jalan yang penuh hambatan dan godaan, kesulitan, dan tantangan."
Puisi ini menunjukan bahwa sang jenderal sadar tidak ada jalan yang rata untuk kehidupan sukses yang berkualitas.

Seperti kata mutiara yang sering diucapkan oleh Guru di kelas kepada siswanya,"Kalau Anda lunak pada diri sendiri, kehidupan akan keras terhadap Anda. Namun, kalau Anda keras pada diri sendiri, maka kehidupan akan lunak terhadap Anda."

Untuk itu, jangan pernah berkompromi atau bersikap lunak pada sikap kita yang destruktif, merusak, dan cenderung melemahkan. Senantiasalah belajar untuk bersikap tegas dan keras dalam membangun karakter yang konstruktif, membangun demi menciptakan kehidupan sukses yang gemilang dan penuh kebahagiaan.

A great pleasure in life is doing what people say you cannot do
Kepuasan terbesar dalam hidup ini adalah bisa melakukan apa yang dikatakan orang lain tidak dapat kamu lakukan.

Making the family as a cultural force prosperous and harmonious

Kamis, Agustus 06, 2009

ANTUSIAS MENGEJAR IMPIAN


Enthusiasm is one of the greatest power in our life; antusiasme adalah salah satu kekuatan terbesar dalam hidup kita.

Antusiasme akan memberikan kita kekuatan.

Antusiasme akan menjadikan kita tabah menghadapi segala rintangan hidup.

Antusiasme akan menjadi obor bila kita berada dalam kegelapan.

Antusiasme adalah obor yang akan menghangatkan bila impian kita menjadi dingin.

Antusiasme adalah salah satu kekuatan yang dapat menyerap dan menyimpan energi.

Energi adalah kekuatan. Dengan menghimpun energi, maka berarti Kita akan menghimpun kekuatan. Kekuatan yang terhimpun dapat mengalahkan berbagai halangan hidup yang dijalani secara rutinitas, maka kita tidak ubahnya seperti robot, hidup tanpa antusiasme dan akan menjadikan kita jenuh. Hidup yang dijalani tanpa antusiasme akan mudah menyebabkan kita putus asa.

Putus asa....? jangan.... jangan.... jauhi kata2 ini dan jangan sekali2 bersahabat apalagi ngobrol dengan kata ini karena hanya membuat kita menjadi tidak berguna. Putus asa akan membuat hidup kita menjadi tidak berguna alias mati.

SEMANGAT....? yes....yes....YES!!!!! segala sesuatunya dimulai dengan semangat. Hidup yang semangat menjadikan kehidupan kita menjadi sangat berarti, hidup menjadi indah, hidup menjadi Sukses, hidup menjadikan kita banyak Senyum dan bila hidup ini selalu penuh dengan Senyum maka itulah artinya kebahagian dumiawi.

Making the family as a cultural force prosperous and harmonious

Kamis, Juli 09, 2009

APAKAH ANDA KEKASIH ALLAH ATAU PELACUR?


Beberapa tahun yang lalu, saya mendapatkan kesempatan istimewa untuk mengajar di sebuah sekolah pelayanan. Para mahasiswa saya sangat lapar akan Tuhan, dan saya selalu mencari cara-cara untuk menantang mereka agar jatuh cinta kepada Tuhan Yesus lebih lagi dan menjadi suara kebangkitan dalam gereja

Saya menemukan suatu pernyataan yang berasal dari Pdt. Sam Pascoe. Pernyataan itu merupakan sejarah singkat kekristenan: *“Kekristenan bermula di Palestina sebagai persekutuan, berpindah ke Yunani sebagai sebuah filsafat, berpindah ke Itali dan menjadi sebuah lembaga gereja, berpindah ke Eropa dadn menjadi sebuah kebudayaan Kristen, berpindah ke Amerika Serikat dan menjadi sebuah badan usaha."* Beberapa mahasiswa baru berusia 18 atau 19 tahun, sudah cukup besar, dan saya ingin mereka mengerti dan menghargai bagian kalimat terakhir itu, sehingga untuk menegaskannya saya tambahkan, “Badan usaha. Itulah bisnis.”

Setelah beberapa saat Martha, mahasiswa paling muda di kelas itu, mengangkat tangannya. Saya tak dapat membayangkan apa yang akan ditanyakannya. Saya pikir gambaran yang saya berikan sudah cukup jelas, dan saya pikir saya telah berhasil membuat mereka jelas. Namun demikian, saya menanggapi keinginan Martha untuk bertanya, sehingga saya berkata, “Ya, Martha.” Dia bertanya sebuah pertanyaan yang sederhana, “Bisnis? Bukankah kekristenan seharusnya menjadi sebuah tubuh?” Saya tak dapat membayangkan kemana arah pertanyaan ini, dan jawaban yang dapat saya hanya pikirkan adalah, “Ya, benar.” Kemudian dia melanjutkan, *“Tetapi ketika sebuah tubuh menjadi bisnis, bukankah hal itu merupakan pelacuran?” *

Ruangan kelas itu menjadi sunyi senyap. Selama beberapa detik tak ada seorangpun yang bergerak atau berkata-kata. Kami semua terperangah, takut mengeluarkan suara karena kehadiran Allah telah melanda ruangan kelas, dan kami tahu bahwa kami sedang berdiri di tempat kudus. Segala yang dapat saya pikirkan dalam saat-saat kudus itu adalah, “Wow, andaikan saja saya berpikir demikian.” Saya tak berani mengungkapkan pemikiran itu terang-terangan. Allah telah mengambil alih ruangan kelas itu. Pertanyaan Martha telah mengubah kehidupan saya. Selama enam bulan, saya memikirkan pertanyaan Martha paling tidak sekali setiap hari. “Ketika sebuah tubuh menjadi bisnis, bukankah itu pelacuran?” Hanya ada satu jawaban bagi pertanyaannya.
Jawabannya adalah “Ya.” Gereja-gereja di Amerika Serikat kebanyakan, yang sangat menyedihkan, telah dipenuhi jemaat yang tidak mengasihi Allah. Bagaimana kita mengasihi Dia? Kita bahkan tidak mengenal-Nya; dan yang saya maksud adalah sungguh-sungguh mengenal Dia.

Apa yang saya maksud ketika saya katakan “sungguh-sungguh mengenal Dia?” Pengertian kita tentang mengenal dan mengetahui berasal dari kebudayaan Barat (yang berasal dari pemikiran filsafat Yunani kuno). Kita menganggap kita telah memperoleh pengetahuan (dan selanjutnya memperoleh hikmat) ketika kita telah berhasil mengumpulkan banyak informasi. Sekumpulan informasi bukanlah pengetahuan, khususnya menurut kebudayaan Alkitab (yang merupakan kebudayaan Timur, bukan Yunani). Dalam budaya Timur, semua pengetahuan diperoleh dari pengalaman, bukan dari pengumpulan informasi. Dalam budaya Yunani atau Barat, kita mendapatkan kesimpulan bukan hanya dari pengalaman, begitulah pola pemikiran kita. Sebuah contoh mungkin dapat menolong kita memahami hal ini. Marilah kita mengajukan sebuah pertanyaan berdasarkan dua
pernyataan berikut: Pertama, gandum tidak tumbuh di daerah yang beriklim dingin dan kedua, Inggris mempunyai iklim dingin. Pertanyaannya adalah: Apakah gandum tumbuh di Inggris? Kebanyakan orang dari kebudayaan Barat/Yunani akan menjawab, “Tidak. Jika gandum tidak tumbuh di daerah beriklim dingin dan Inggris memiliki iklim dingin, maka kesimpulannya gandum tidak tumbuh di Inggris. Di dalam budaya Timur, jawaban bagi pertanyaan yang sama, berdasarkan dua pernyataan yang sama, jawabannya mungkin akan seperti ini: “Tidak tahu. Saya belum pernah ke Inggris.” Kita mungkin akan
menertawakan jawaban seperti itu, tetapi ketika saya mengajukan pertanyaan itu kepada teman-teman saya yang tinggal di Inggris, jawaban mereka adalah: “Ya, gandum tumbuh di Inggris. Kami berasal dari Inggris, dan kami tahu bahwa gandum tumbuh di sana.” Mereka mengabaikan cara berpikir Barat karena mereka telah mengalami apa yang mereka tahu. Pengalaman menghasilkan informasi ketika pengalaman menjadi pengetahuan.

Persoalan yang mirip timbul dalam konsep keyakinan kita. Kita katakan kita percaya sesuatu (atau seseorang) terlepas dari pengalaman pribadi kita. Pengertian percaya ini tidak kita berikan kepada pialang saham kita. Sekali lagi, izinkan saya menjelaskan. Anggaplah bahwa pialang saham saya menelpon saya dan berkata, “Saya punya nasihat paling hebat tentang suatu saham yang harganya akan naik tiga kali lipat dalam waktu seminggu. Saya harap Anda mau mentransfer $ 10.000 untuk membeli saham ini.” Bagi saya itu adalah jumlah uang yang besar, sehingga saya bertanya, “Apakah Anda benar-benar percaya bahwa harga saham ini akan naik tiga kali lipat, dan dalam waktu cepat?” Dia menjawab, “Saya yakin sekali.” Saya tanya lagi, “Wah, bagus sekali. Betapa menarik. Jadi, berapa banyak uang Anda sendiri yang sudah Anda investasikan pada saham yang akan naik tiga kali lipat dalam waktu seminggu ini?” Dia
menjawab, “Tak ada.” Apakah pialang saya benar-benar percaya tentang saham yang akan naik tiga kali lipat dalam waktu seminggu itu? Apakah dia sungguh-sungguh percaya? Saya pikir tidak, dan tiba-tiba saya tidak percaya juga. Bagaimana mungkin kita begitu teliti mengenai perkara-perkara di dunia ini, khususnya ketika berurusan dengan uang, dan kita begitu tidak peduli ketika berurusan dengan perkara-perkara rohani? Kenyataannya, kita tidak tahu atau tidak percaya tanpa kita mengalami. Alkitab ditulis bagi orang-orang yang tidak mungkin mengerti konsep pengetahuan, keyakinan, dan iman tanpa mengalaminya terlebih dahulu. Saya pikir Allah berpikir dengan cara demikian juga.

Jadi, saya tetap pada pendirian saya bahwa kebanyakan orang-orang Kristen di Amerika Serikat tidak mengenal Allah, dan kurang mengasihi Dia. Segala penyebab dari keadaan ini berasal dari cara kita datang kepada Allah. Kebanyakan di antara kita datang kepada Dia karena apa yang orang-orang katakan kepada kita apa yang akan Dia lakukan kepada kita. Kita dijanjikan bahwa Dia akan memberkati kita dalam kehidupan dan membawa kita ke sorga setelah kematian. Kita memilih Dia karena uang dan berkat yang dapat kita raih, tak peduli apakah Dia senang atau tidak, asalkan kita mendapatkan sesuatu dari Dia. Kita telah menyulap kerajaan Allah menjadi badan usaha, memperjual-belikan urapan-Nya. Sekali-kali janganlah hal ini terjadi! Kita telah diperintahkian untuk mengasihi Allah, dan kita dipanggil untuk menjadi Mempelai Kristus – itu adalah hubungan yang paling intim. Seharusnya kita menjadi kekasih-kekasih-Nya. Bagaimana kita mengasihi seseorang yang bahkan kita tidak kenal? Dan meskipun kita mengenal seseorang, apakah ada jaminan bahwa kita sungguh-sungguh mengasihinya? Apakah kita ini kekasih-kekasih Allah atau para pelacur?

Saya terus merenungkan pertanyaan Martha di atas pada suatu hari, dan mulai merenungkan apa perbedaan antara kekasih dan pelacur? Saya menyadari bahwa keduanya memiliki banyak persamaan, tetapi seorang kekasih melakukan apa yang dia lakukan karena dia mengasihi. Seorang pelacur berpura-pura mengasihi, selama Anda mau membayarnya. Kemudian saya bertanya lagi, “Apa yang akan terjadi kalau Tuhan berhenti memberikan sesuatu kepada kita?”

Selama beberapa bulan berikutnya, saya mengizinkan Allah untuk menyelidiki diri saya agar mengungkapkan motif-motif saya dalam mengasihi dan melayani Dia. Apakah saya sungguh-sungguh seorang yang mengasihi Dia? Apa yang akan terjadi seandainya Dia berhenti memberkati saya? Bagaimana kalau Dia tidak melakukan sesuatu bagi saya? Apakah saya masih mengasihi Dia? Pahamilah, saya percaya akan janji-janji dan berkat-berkat dari Allah. Persoalannya di sini bukanlah apakah Allah memberkati anak-anak-Nya atau tidak; masalahnya di sini bagaimana kondisi hati kita. Apa alasannya saya melayani Dia? Apakah berkat-berkat-Nya yang saya terima dalam kehidupan ini merupakan kasih karunia dari seorang Bapa yang penuh kasih, atau merupakan ganjaran atau upah yang saya patut terima atau uang sogok untuk mengasihi Dia? Apakah saya mengasihi Allah tanpa syarat? Hal ini memerlukan waktu beberapa bulan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Bahkan sekarangpun saya masih
menyelidiki apakah keinginan saya untuk mengasihi Allah selalu berpadanan dengan sikap dan tingkah laku saya. Saya sering mendapati diri saya kecewa terhadap Allah dan bahkan marah terhadap-Nya manakala Dia tidak memenuhi apa yang saya anggap saya butuhkan. Saya curiga hal ini adalah sesuatu yang belum saya selesaikan sungguh-sungguh, tetapi saya sungguh-sungguh ingin menjadi kekasih Allah yang sejati lebih dari apapun yang lain.

Jadi, kita ini akan menjadi apa? Apakah kita akan menjadi kekasih Allah atau pelacur? Tak ada pelacur di sorga, atau di kerajaan Allah, meskipun ada banyak bekas pelacur di kedua tempat itu. Meskipun kita bekas pelacur, kita harus menyadari bahwa tak ada pengganti bagi hubungan yang sangat intim dan tanpa syarat dengan Allah. Dan saya juga mengartikan tak ada pilihan bagi kita, selain menjadi kekasih Allah yang sejati. Kita harus memilih.

Created by: David Ryser,
fwd by: sdr. pttwr,
translated by: Hadi Kristadi for pentas-kesaksian.blogspot.com
pic taken from:oneyearbibleimages.com

Making the family as a cultural force prosperous and harmonious

Sabtu, Juni 13, 2009

Khasiat Minum Kopi


KOMPAS.com - Kopi merupakan minuman favorit banyak orang. Mulai dari kedai pinggir jalan hingga hotel bintang lima menyediakan minuman yang rasa dan aromanya nikmat ini. Kandungan kafein dalam kopi dipercaya bisa membangkitkan kesegaran dan kebugaran. Tapi di lain pihak masih banyak orang yang takut minum kopi karena alasan kesehatan.

Untuk menjawab kontroversi tersebut hingga saat ini berbagai penelitian terus dilakukan untuk mengetahui khasiat dan manfaat kopi bagi tubuh. Sebagai salah satu pengekspor kopi utama di dunia, kopi dari Indonesia terkenal bermutu tinggi. Ditambah alasan lain di bawah ini, sayang rasanya jika harus melewatkan secangkir kopi.

Melawan kegemukan
Orang yang sering minum kopi diketahui berat badannya lebih stabil selama 12 tahun dibandingkan dengan orang yang berhenti minum kopi. Demikian menurut penelitian yang dilakukan tim dari Harvard School of Public Health, Boston, AS.

Menambah semangat
Minum kopi disela waktu bekerja ternyata bisa membantu kita tetap bugar dan berkonsentrasi. Penelitian menunjukkan atlit yang mengonsumsi minuman yang mengandung cafein karbohidrat setelah bersepeda memiliki lebih banyak glikogen (cadangan energi) dalam ototnya bila dibandingkan dengan atlit yang tidak mengonsumsi. Glikogen akan membantu kita lebih cepat dan gesit dalam sesi berikutnya.

Mengurangi risiko penyakit
Menambah konsumsi kopi menurut penelitian The National Institute of Environmental Medicine di Swedia, bisa menghindari kita dari risiko kanker hati. Cukup dua cangkir kopi per hari dan risiko kanker akan berkurang 43 persen. Studi lain menunjukkan wanita yang minum kopi risiko terkena serangan jantung berkurang 24 persen. Antioksidan yang terdapat dalam kopi diduga melindungi kita dari penyakit-penyakit itu.

Sebuah studi yang dilaporkan dalam Journal of Nutrition menyebutkan gadis remaja yang sering minum kopi setiap hari risiko terkena kanker payudara berkurang 40 persen. Kandungan kafein dan polipenhol dalam kopi melindungi tubuh melawan kanker payudara.

Membantu daya ingat
Peneliti dari Medical University of Innsbruck, Austria, mengatakan bahwa kafein bisa mencegah berkurangnya daya ingat. Minum secangkir kopi sebelum pertemuan penting dengan klien barangkali layak dicoba agar daya ingat dan otak lebih tajam.

Mencairkan suasana
Harus berurusan dengan orang yang sulit diajak kerjasama? ajaklah ia menikmati secangkir kopi. Kafein akan membuat orang lebih terbuka, demikian menurut laporan yang diterbitkan dalam European Journal of Social Psychology. Peneliti mengungkapkan kafein merangsang fungsi kognitif sehingga orang akan lebih terbuka dan respektif.
Making the family as a cultural force prosperous and harmonious

Jumat, Juni 12, 2009

GOOD – GOD = O

GOOD – GOD = O

Dalam hidup ini kita pasti pernah mengalami pasang surut kehidupan.
Ada masa di mana hari-hari kita belalu begitu indah, begitu menyenangkan.
Semua aktivitas dan pekerjaan yang kita lakukan berjalan dengan mulus tanpa suatu halangan.
Segala yang terjadi dalam hidup ini seakan mendapat bimbingan dan berkat dari Tuhan.

Namun ada juga saat-saat terburuk dalam hidup kita.
Di mana hidup terasa berat dan penuh beban.
Apa saja yang kita kerjakan hasilnya jauh dari harapan.
Segala yang kita lakukan selalu penuh rintangan dan halangan.
Tuhan sepertinya menjauh dari kehidupan kita.

Hal ini pernah dialami oleh seorang laki-laki bernama Grant Taylor,
seorang pelatih softball yang mengalami hari-hari terburuk dalam hidupnya.
Tim yang dipimpinnya kalah secara berturut-turut,
pemain-pemain andalannya frustasi dan sebagian pindah ke tim lawan.
Sang istri sudah empat tahun menanti cabang bayi tapi belum juga kesampaian.

Penderitaannya tambah lengkap ketika tiba-tiba mobilnya mogok di jalan.
Ketika sampai di rumah pemanas air tidak berfungsi, kompor untuk memasak rusak,
kamar mandi bocor, dan masih sederet kesusahan yang menimpa laki-laki malang itu.

Puncak kesedihannya terjadi sewaktu ia mendengar kepala sekolah
hendak memecatnya sebagai pelatih softball di sekolah itu
karena kekalahan yang bertubi-tubi yang dialami oleh tim asuhannya.

“Ini hari terburuk dalam hidupku,” kata Grant Taylor sambil melangkah pulang dengan langkah gontai.
“Aku sudah berusaha amat keras dan sudah melakukan yang terbaik yang bisa aku lakukan.
Tetapi mengapa tim aku tak bisa menang?” keluh Grant Taylor kepada istrinya yang merasa prihatin dengan keadaan yang menimpa suaminya.

“Kau bisa menang. Berhentilah menyesali diri,” kata istrinya menyakinkan.
“Akulah masalahnya. Seperti kata orang-orang yang lain. Akulah sumber masalahnya.”
“Aku tak bisa menyediakanmu rumah yang layak. Aku tak bisa membelikanmu mobil yang baru. Aku adalah seorang pelatih yang gagal dan akan kehilangan pekerjaan.”

“Apa yang harus aku lakukan? Mengapa hidup ini menjadi sulit sekali?” Tanya Grant Taylor kepada istrinya sambil menangis berdua di meja makan.

Di tengah kebingungan dan rasa putus asa yang mendalam
mereka mencoba mendekatkan diri kepada Tuhan.
Mereka berdua selalu memulai hari mereka dengan berdoa sebelum melakukan aktifitasnya.
Dan setiap malam keluarga ini tampak khusuk menaikan pujian dan rasa syukur kepada Tuhan.

Sejak saat itu, keajaiban demi keajaiban terjadi kepada keluarga Grant Taylor.
Tim nya berhasil menaklukkan lawan sehingga ia tidak jadi kehilangan pekerjaan
dan istrinya dilaporkan positif mengandung buah cintanya yang telah lama dinantikan.

“Ini adalah hari terindah dalam hidupku. Ya Tuhan aku terpesona oleh campur tanganMu,” puji Grant Taylor kepada Tuhan.

Apa yang dialami keluarga Grant Taylor, membuat kita lebih yakin,
bahwa segala sesuatu yang kita kerjakan bukan hanya untuk memuaskan ego kita
atau menyenangkan atasan dan keluaraga kita.
Tetapi semua itu untuk memuliakan kebesaran Tuhan yang telah berkarya lewat pikiran dan raga kita.

Seperti sebuah pesan singkat yang dikirim seorang sahabat kepada saya “Good – God = O.
Sesuatu yang baik tetapi tidak melibatkan Tuhan maka hasilnya adalah nol.
Jadi libatkanlah Tuhan dalam semua aktivitas dan pergumulannu. God Bless U”.

Ya, kita tidak boleh lupa melibatkan Tuhan.
Sebab sebaik dan sekeras apa pun kita berusaha,
tanpa bantuan Tuhan hasilnya adalah nol besar.
Tetapi bila kita selalu menyertai Dia, segalanya menjadi mudah
karena "With God All Things are Possible" Bersama Tuhan segalanya tidak ada yang mustahil.

golden wisdoms by Sulaiman Budiman

Making the family as a cultural force prosperous and harmonious

Senin, Juni 08, 2009

Budaya Nias, Asal Usul dan Kematian



I. Latar belakang
Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias.[1] Orang Nias menyebut diri mereka sebagai Ono Niha (anak manusia). Kemudian pulau Nias disebut sebagai Tanő Niha (tanah manusia). Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam hukum adat dan kebudayaan yang sangat kental. Hukum adat Nias secara umum disebut fodrakő yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Jauh sebelumnya, masyarakat Nias primitif hidup dalam budaya megalitik. Hal ini terlihat dari peninggalan sejarah seperti artefak-artefak yang masih ditemukan di banyak wilayah pedalaman pulau Nias sampai sekarang ini.

Masyarakat Nias juga mengenal sistem kasta. Ada dua belas tingkatan kasta. Dari tingkatan kasta yang ada, yang tertinggi adalah “Balugu”. Untuk mencapai tingkatan ini, seseorang harus mampu mengadakan pesta besar selama berhari-hari dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ratusan/ekor babi. Biasanya orang-orang yang melakukan ini adalah mereka yang memiliki harta dan emas.

a). Mitologi:
Menurut masyarakat Nias, dalam sebuah mitos, orang Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut Sigaru Tora’a yang terletak disebuah tempat yang bernama Tetehőli ana’a. Mitologi Nias ini terdapat dalam hoho[2]. Dalam hoho diceritakan bahwa alam semesta beserta segala isinya adalah ciptaan Lowalangi[3] (Untuk selanjutnya saya lebih suka menggunakan istilah ”pencipta”) dari beberapa warna udara yang ia aduk dengan tongkat yang bernama sihai[4]. Dewa pencipta terlebih dahulu menciptakan pohon kehidupan yang disebut Sigaru Tora’a. Pohon ini berbuah dua butir buah yang segera dierami oleh seekor laba-laba emas. Kemudian lahirlah sepasang dewa pertama, yang dinamakan Tuhamora’aangi Tuhamoraana’a berjenis kelamin laki-laki dan Burutiroangi Burutiraoana’a berjenis kelamin perempuan.[5] Keturunan mereka inilah yang kemudia dikenal sebagai dewa Sirao Uwu Zihõnõ sebagai rajanya.

Mitos asal usul masyarakat Nias pun, dimulai sejak zaman raja Sirao. Dewa ini memiliki tiga istri yang masing-masing beranak tiga putra. Di antara kesembilan putranya ini timbul pertengkaran yang sengit, yaitu mereka memperebutkan tahta Raja Sirao ayah mereka. Melihat situasi ini, Sirao mengadakan sayembara di antara putra-putranya. Intinya, siapapun yang mampu mencabut tombak (toho) yang telah dipancangkan di lapangan depan istana itulah yang berhak menggantikan-nya. Satu persatu putranya mulai dari yang tertua datang mencoba mencabut tombak tersebut. Tapi tak satupun berhasil. Kemudian anak yang paling bungsu yang bernama Luo Mĕwõna[6] (Lowalangi) datang mencabutnya dan akhirnya berhasil.

Kakak-kakaknya yang kalah dalam sayembara tersebut diasingkan dari Tetehõli ana’a, dan dibuang ke bumi, tepatnya di pulau Nias. Dari kedelapan putra Sirao yang dibuang ke dunia (Pulau Nias) hanya empat orang yang dapat sampai di empat tempat di pulau Nias dengan selamat dan akhirnya menjadi leluhur orang Nias. Ke-empat orang lainnya mengalami kecelakaan. Baewadanõ Hia karena terlalu berat, jatuh menembus bumi dan menjelma menjadi ular besar yang bernama Da’õ Zanaya Tanõ sisagõrõ[7] (dialah yang menjadi alas/fondasi seluruh bumi). Jika dia bergerak sedikit saja, maka bumi akan bergoncang dan terjadilah gempa bumi. Agar dapat hidup, naga ini diberi makan oleh burung setiap hari.
Yang lain jatuh ke dalam air dan menjadi hantu sungai, pujaan para nelayan. Dia sering disebut hadroli[8]. Ada yang terbawa angin, dan akhirnya tersangkut di pohon dan menjelma menjadi hantu hutan, pujaan para pemburu. Makluk ini sering disebut ”Bela”[9]. Ada juga yang jatuh di daerah Laraga yang kondisi tanahnya penuh batu-batu (12 Km dari Gunung Sitoli) menjadi leluhur orang-orang berilmu kebal.

b). Penelitian Arkeologi
Telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif[10] dan di Kompas,[11] Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal-usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.[12]

Marga Suku Nias: Suku Nias terdiri dari beberapa marga diantaranya : Amazihönö, Beha, Baene, Bate’e, Bawamenewi, Bawaniwao, Bawo, dan masih banyak lagi. Fungsi marga adalah menunjukkan garis keturunan dan asal seseorang. Termasuk mengenal famili, sejauh mana garis keturunan dan bisa tau tidak mereka menikah.



II. Religiositas Masyarakat Nias
a). Lani, Langi
Tradisi lisan Nias sering berbicara tentang langit (lani, langi), tentang lapisan langit yang satu (lani si sara wenaita), ada juga langit yang berlapis sembilan (lani si siwa wenaita) dan tentang seorang leluhur yang bernama satu langit (lani sagörö) atau langit yang satu itu (lani sisagörö). Nama ini dulu sebenarnya bukan Lowalani melainkan Lawalani artinya yang ada di atas langit. Bahasa sehari-hari di Nias Selatan sampai sekarang tetap mempertahankan kebiasaan lama dan mengatakan lawa (atas) dan bukan seperti Nias Utara yang menyebutnya yawa (atas). Pemakaian istilah Lowalangi sebenarnya dipopulerkan oleh seorang misionaris Denniger pada tahun 1865. Ia memilih kata Lowalangi sebagai nama Allah bagi pengikut ajaran Kristen di Nias. Ada kemungkinan saat itu ia belum mengetahui sebutan tradisi Lawalani di Nias Selatan. Walaupun demikian istilah ini diterima juga oleh orang Nias Selatan yaitu yang berada di atas langit.

Menurut versi Pastor Johannes M. H. Orang Nias tidak mengharapkan firdaus dalam hidup yang akan datang, tidak pula suatu neraka. Baik hukuman maupun imbalan tidak mereka harapkan. Karena orang Nias percaya, bahwa semuanya akan berakhir. Maka orang Nias tidak takut akan sesuatu dan mengharapkan sesuatu. Hanya inilah yang merupakan imbalan atau hukuman bagi orang Nias. Mereka yang sudah meninggal dipandang terhormat dan terburuk. Selain itu mereka pasrah saja pada nasib mereka dengan hati tenang.[13] Akan tetapi, versi ini diragukan kebenarannya karena pada kenyataanya orang Nias masih percaya pada arwah leluhur dan peranannya bagi kehidupan. Bisa dilihat dari patung-patung (Nadu) yang dianggap sebagai tempat roh leluhur bisa hadir. Selain itu, konsep tentang adanya dunia orang mati juga dipercaya yaitu Tetehõli ana’a.

Bagi orang Nias, setelah meninggal semuanya akan punah. Manusia yang meninggal akan menjadi makanan cacing dan lalat yang besar (ö gulö-kulö, ö deteho) seperti dinyanyikan dalam Hoho yang tertinggal hanyalah ”Nama kebesaran” (töi sebua) dan ”kemuliaan” (lakhömi). Sasaran dari pesta-pesta besar (owasa fatome) yang dirayakan di Nias pada zaman dulu adalah untuk mendapat nama yang mulai (töi so-lakhömi).[14]

b). Agama Asli Orang Nias
”a Agama asli yang diberikan oleh pendatang yang berarti ”penyembah ruh”. Nama yang dipergunakan oleh penganutnya sendiri adalah molohĕ adu (penyembah adu). Sifat agama ini adalah berkisar pada penyembahan ruh leluhur.”[15] Meskipun tidak ada konsep kehidupan setelah kematian menurut versi Pastor Johannes M.H, tapi dalam kepercayaan ini terdapat praktik penyembahan roh-roh para leluhur (animisme). Para leluhur itu perlu dikenang, terutama atas jasa-jasa mereka (Nama Besar dan Kemuliaan). Kepercayaan ini termanisfestasi dalam bentuk adu. Orang Nias percaya bahwa patung-patung (adu) itu akan ditempati oleh roh-roh leluhur mereka, karena itu harus dirawat dengan baik.

”Menurut kepercayaan tiap orang mempunyai dua macam tubuh, yaitu tubuh kasar (boto) dan tubuh halus. Tubuh halus terbagi dua, yaitu noso (nafas) dan lumõmõ-lumõ (bayangan). ”Jika orang mati botonya kembali menjadi debu, nosonya kembali pada Lowalangi (Allah). Sedangkan lumõ-lumõnya berubah menjadi bekhu (roh gentayangan)”.[16] Orang Nias percaya, selama belum ada upacara kematian, bekhu ini akan tetap berada di sekitar jenazahnya atau kuburannya. Agar bisa kembali ke Tetehõli ana’a (dunia roh), setiap roh harus menyeberangi suatu jembatan antara dunia orang hidup dan dunia orang mati. Dalam perjalanan itu, semakin roh itu berjalan, jembatannya semakin mengecil bahkan sampai sekecil rambut. Hal itu akan dialami oleh roh-roh yang banyak melakukan kejahatan selama hidupnya. Akhirnya ia akan jatuh dan masuk ke dalam api yang menyala-nyala. Akan tetapi, bila selama hidupnya ia baik, jembatannya tidak menyempit sehingga perjalanan mulus dan sampai ke Tetehõli ana’a.

Dalam paham agama asli ini, roh tersebut jika sudah sampai ke dunianya, akan melanjutkan kembali hidupnya seperti di dunia ini. Kalau dulu semasa hidup dia seorang raja maka di dunia seberang (Tetehõli ana’a) juga ia akan tetap menjadi raja dan yang miskin akan tetap miskin di dunia seberang nanti. Dunia Tetehõli ana’a ini keadaanya ”terbalik”. Apa yang baik di dunia ini, di sana akan jadi buruk. Maka ada kebiasan, orang-orang Nias, bila menitipkan baju dan barang-barang lainnya, semua barang itu dirusak. ”Pebedaan dunia sana dengan dunia sini hanya terletak pada keadaan ”terbalik”, yaitu jika di sini siang di sana malam demikian juga kalimiat dalam bahasa di sana adalah serba terbalik.”[17]

III. Dua Upacara Penting Dalam Upacara Kematian

a). Famalakhisi/Fatomesa (Perjamuan terakhir)
Famalakhisi adalah perjamuan terakhir bagi orang tua yang sudah mau meninggal. Kata lain dari famalakhisisi ini adalah La’otome’õ (kata kerja) artinya dijadikan tamu, fatomesa (kata benda), orang yang sudah mau meninggal akan diupacarkan yang disebut laotome’õ.

Tradisi budaya Nias sampai hari ini masih melakukan ritual Famalakhisisi atau fatomesa ini. Ritual ini biasanya dilakukan pada orang tua yang sudah sakit-sakitan dan mau meninggal.

Famalakhisi (Perjamuan terakhir kali) diadakan bagi ayah yang sudah hampir tiba ajalnya oleh para putranya, setelah ia memberkati serta memberi doa restu kepada mereka. Pada kesempatan ini si ayah dihidangkan daging babi. Upacara ini harus dihadiri oleh putra-putranya terutama yang sulung, karena tanpa berkah doa restu ayahnya, kehidupan anak tersebut akan mengalami banyak rintangan.[18]

Peranan anak laki-laki khususnya anak sulung sangat penting. Anak sulung dipandang sebagi pengganti Ayah dan menjadi pemimpin bagi saudara-saudaranya yang lain. Meskipun peranan anak perempuan tidak begitu ditekankan, tapi mereka wajib datang dan membayar utang mereka sama seperti saudaranya laki-laki.

Di saat-saat terakhir seperti ini, semua anak dan cucunya datang mengunjunginya. Kedatangan mereka pertama-tama adalah untuk memberikan penghormatan terakhir pada orang tua. Orangtua dalam perspektif orang Nias adalah Tuhan di dunia. Sebagai Tuhan yang tampak harus dihormati dan disembah. Maka berkat orang tua, khususnya saat akhir hidupnya diyakini sangat menentukan hidup mereka dikemudian hari.

Tujuan utama Famalakhisi atau fatomesa ini adalah mendapat berkat (howu-howu) dari Orangtua yang hendak meninggal. Sebaliknya kalau ritual ini tidak dihadiri (dengan sengaja) oleh salah seorang anaknya, diyakini bahwa dia akan menjadi anak yang durhaka (tefuyu) dan akan hidup dalam ketidakcukupan atau tidak mendapat rejeki dalam hidupnya (ha sifangarö-ngarö ba kaudinga). Maka momen fatomesa ini adalah peristiwa yang sangat berharga. Hal itu menandakan bahwa mereka adalah anak yang selalu tunduk dan turut pada orang tua (ono salulu-lulu khö jatua nia). Karena ketaatan pada orang tua tersebut, mereka akan mendapat berkat darinya dan hidupnya akan lebih baik.

Dalam acara Famalakhisi atau fatomesa ini, anak-anak dan cucu-cucu dari orang tua yang hendak meninggal akan memestakannya dan makan bersama sebagai tanda penhormatan terhadap orang tua atau kakek mereka. (Dan) Seandainya, kalau ia meninggal, ia pergi dalam keadaan kenyang dan bahagia karena dikelilingi anak-anaknya.
Ketika seseorang sudah sakit parah, semua anggota keluarga kumpul , bahkan dari kampung-kampung lain dan memberi makan (mame’e õ) si sakit. Tentu saja menyembelih anak babi. Setelah berdoa, lalu si sakit diberi makan oleh anggota keluarga, mulai dari yang tertua. Ini suatu kepercayaan (pesan tersirat) bahwa kita masih berharap Anda (si sakit) masih tetap kuat dan bertahan, namun seandainya kamu harus pergi, kami tidak terlalu menyesal karena kamu pergi dengan kenyang. Kami sudah melayani dengan baik sehingga seandainya engkau pergi meninggalkan kami, kamu tidak perlu mencari kami atau mengganggu kami lagi. (Ingat: orang Nias percaya pada “bekhu.” (setan) Nah, bekhu ini dalam kepercayaan orang Nias, bisa mengganggu orang yang masih hidup).[19]

3. Fanõrõ Zatua dan Fangasi
Fanõrõ Zatua adalah upacara pemakaman kedua dari yang wafat. Upacara ini bermaksud untuk ”mengantarkan” rohnya ke alam baka (Tetehõli ana’a)”[20]. Upacara-upacara ini bersifat potlatch yaitu unsur memamerkan kekayaan agar menaikkan gengsi keluarga dan terpandang di masyarakat. Sebab bagi orang Nias yang paling penting dalam hidup adalah Lakhõmi (Kemuliaan) atau Tõi (Nama) keluarga. Biasanya dalam upacara-upacara ini, keluarga orang yang telah meninggal akan mengadakan pesta besar-besaran. Dalam upacara ini, mereka memamerkan kekayaan dengan memotong babi ratusan ekor dan membagikan kepada sanak keluarga, kerabat dan orang sekampung bahkan dengan kampung tetangga. Namun upacara ini tidaklah bersifat wajib. Hanya bagi orang-orang tertentu saja yang memiliki harta dan uang.

Sinonim dari fanõrõ satua adalah fangasi. Bagi orang yang meninggal, harus ada fangasi terjemahan harfiahnya adalah penebusan (redemption). Tapi fangasi bisa juga disebut fangasiwai artinya penyelesaian. Maka fangasi ini bisa dikatakan lebih menekankan pada penyelesaian upacara bagi orang yang telah meninggal.
Dalam perspektif orang Nias fangasi tidak sekedar penebusan orang yang sudah meninggal melainkan sebuah perayaan dan penghormatan sekaligus pengenangan. Selain itu, juga saat melunasi hutang-hutangnya jika masih ada. Fangasi ini adalah semacam pesta bagi orang yang masih hidup sebagai tanda bahwa mereka sudah merelakan kepergian almarhum. Pesta ini biasanya diadakan empat hari setelah yang meninggal dikuburkan. Ritual ini dikenal sebagai fananő bunga (menanam bunga) di pusara yang sudah meninggal.

Ritual yang pertama sekali diadakan adalah pada pagi hari keluarga beserta kenalan dekat datang ke kuburan dan menanam bunga, dan kemudian berdoa. Setelah kembali dari kuburan, mereka akan memotong babi dan makan bersama sebagai upaya mengenang yang sudah meninggal inilah yang disebut fangasi. Di sini tidak terlihat lagi tangisan dan kesedihan, upacara ini adalah tindakan memestakan orang yang sudah meninggal. Upacara ini juga disebut sebagai penghormatan karena melalui upacara ini dia diakui eksistensinya bahwa ia pernah hidup dengan mereka, dan sekarang almarhum telah pergi (mofanő/ irői gulidanő) dari dunia fana ini. Dalam pesta ini, semua kerabat dan warga sekampung diundang.

Orang Nias percaya bahwa yang meninggal itu akan menyadari bahwa ia telah meninggal setelah empat hari. Jadi saat seseorang meninggal sampai empat hari, ia masih belum bangun, meskipun diyakini bahwa rohnya masih berada di sekitar rumah.[21] Saat pertama sekali meninggal, almarhum masih hidup di alam mimpi saja. Tetapi setelah empat hari, almarhum akan bangun dan di situlah ia menyadari kalau ia sudah meninggal. Maka di sana akan terdapat ratapan dan tangisan.

Pertama sekali yang dia lakukan adalah kembali ke rumah. Pada saat jam enam sore/atau menjelang magrip, di mana suasana sudah mulai gelap, arwahnya akan masuk ke rumah lewat pintu dapur dan langsung menuju kamarnya, kemudian mengambil barang-barang miliknya, meskipun yang[22] dia ambil hanyalah bayangan saja (lumő-lumő). Kepercayaan ini, benar-benar bisa dibuktikan. Biasanya di pintu belakang rumah akan ditaburkan abu dan besok pagi akan terlihat bekas kaki almarhum di situ. Bukti itu adalah tanda bahwa almarhum sudah mengunjungi rumah.

Namun, biasanya pada hari keempat juga ada ritual bagi orang yang telah meninggal. Acara ini sangat khusus, hanya dihadiri keluarga dekat saja, bahkan hanya keluarga sendiri. Mereka (arwah) dipanggil ke rumah untuk jamuan makan terakhir. Tapi ritual ini hanya dilakukan sebagian orang Nias saja, seperti dikatakan oleh Pastor Ote OSC:

Satu ritus khusus setelah kematian di Nias adalah doa setelah 4 hari kematian. Saya lupa istilahnya. Intinya, arwah orang meninggal diundang dan diberi makan untuk terakhir kalinya. Ada kepercayaan bahwa selama 4 hari setelah meninggal arwah masih ada di dalam atau di sekitar rumah. Ritus yang saya tahu adalah pada saat petang, ogõmi-gõmi mai’fu seseorang pergi ke kubur lalu memukul permukaan makam, seolah-olah mengetok pintu untuk mengundang arwah si mati untuk datang ke rumah dan ikut acara. Nah, mulai saat itu, tidak boleh ada orang yang ada di tengah jalan, apalagi berada di pintu karena bisa kesambet (tesafo). Dia (arwah) akan dijamu secara khusus dengan menyembelih babi dan sedapat mungkin sudah membereskan fangasi.

Setelah empat hari, diyakini bahwa arwah itu sudah siap meninggalkan segala sesuatu yang ada dunia ini dan pulang kepada Tuhan (Lowalangi). Dalam acara hari keempat ini, diadakan perpisahan dengan almarhum. Dunia almarhum telah berbeda, yaitu di alam baka sana. Maka dimohon agar almarhum tidak lagi mengingat apa yang tertinggal di belakang sebab itu bukan miliknya lagi. Itu adalah milik orang yang masih hidup. Diharapkan juga supaya orang yang sudah meninggal itu, bisa tenang di alam sana. Tidak lagi terikat dengan apa yang ada di dunia ini. Termasuk tidak bisa menyayangi dan mencintai yang ada di dunia. Karena menyayangi itu sama dengan menarik orang yang masih hidup ke alam kematian.

Orang Nias percaya bahwa ”cinta” orang yang sudah meninggal itu tidak dibutuhkan lagi, sebab kasih sayang mereka itu menimbulkan maut bagi yang masih hidup.[23] Orang yang sudah meninggal menyayangi dengan mengambil apa yang mereka sayangi. Artinya membuat yang dia sayangi itu meninggal. Hal ini juga dibenarkan oleh Pastor Ote.
Dalam upacara itu, orangtua dalam keluarga itu akan mengadakan/mengucapkan berbagai batasan dan aturan. Misalnya, “Saudara (yang sudah mati) duniamu dan dunia kami sekarang berbeda. Tenang dan bahagialah di tempatmu yang baru dan jangan terlibat lagi dalam segala urusan keluarga yang masih hidup. Kami sanggup mengatasi segala keperluan keluarga. Kalau kamu dulu senang sama anak-anak dan suka menggendong dan memeluk mereka, maka sekarang karena dunia kita berbeda, jangan lagi lakukan hal demikian karena Lowalangi akan menghukum engkau. Engkau tidak punya hak lagi. Tugasmu adalah mendoakan anak-anak itu supaya mereka terpelihara dan baik. Jangan kembali lagi ke rumah ini karena sudah ada rumahmu yang baru…..(dan beberapa ungkapan lain).” Setelah 4 hari, diyakini bahwa arwah sudah tidak berada di rumah lagi. Setahu saya tidak ada lagi upacara untuk si mati, kecuali kalau fangasi tadi belum dibereskan.
Acara pada hari keempat ini adalah acara terakhir bagi orang yang sudah meninggal. Tidak ada lagi acara-acara resmi lainnya untuk mengenang dan mendoakan arwah tersebut.

Penutup
Dunia setelah kematian bagi orang Nias terbagi dalam dua perspektif. Pendapat pertama berpendapat bahwa setelah meninggal seseorang akan menjadi abu, makanan cacing, dan tidak ada lagi harapan untuk kehidpan selanjutnya. Kedua, setelah meninggal seeorang tetap melanjutkan hidup di dunia lain yaitu Tetehõli ana’a. Maka dibuatlah adu untuk dapat mengenang mereka, dan diyakini mereka akan masuk ke dalam patung-patung itu.

Untuk mencari sintesis di antara dua padangan yang berbeda ini, perlu kita mengetahui apa itu manusia dan terdiri dari apakah manusia itu dalam perspektif Nias. Manusia terdiri dari boto (tubuh), noso (nafas/nyawa) dan Lumõ-lumõ (roh/bayang-bayang). Pada saat meninggal noso akan kembali kepada pencipta, sementara boto akan kembali ke tanah dan jadi debu. Lumõ-lumõ akan kembali ke dunia roh (Tetehõli ana’a). Di sini semakin jelas bahwa, boto sajalah yang akan musnah dan menjadi makanan cacing, sementara lumõ-lumõ akan melanjutkan hidup di alam baka. Maka ada jurang pemisah antara dunia arwah dengan dunia manusia.

Mereka yang telah meninggal tidak bisa menyeberang jurang tersebut. Di sanalah arwah yang sudah meninggal tinggal sampai selamanya. Hubungan dengan mereka tidak ada lagi. Yang tinggal hanya Tõi nama, dan Lakõmi (kemuliaan). Yang dapat dikenang dan menjadi kebanggaan bagi generasinya, bila nama yang dia tinggalkan harum dan besar. Demikian juga berlaku sebaliknya.

Daftar Pustaka
Harmmerte, Pastor Johannes M. OFMCap. 1999. Asal Usul Masyarakat Nias, Suatu Intepretasi. Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias
Koentjaraningrat, Prof. Dr. 1976. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
http:// www. Tempointeraktif.com/hg/nusa/sumatera/2006/11/25/brk,20061125- 88428 Sabtu 25 November 2006
htt://www.kompas.com/kompas-cetak/0610/04/humaniora/3002327.htm
Wikipedia Indonesia, ensiklopedia Indonesia
[1] Ada banyak kelompok masyarakat yang hidup di Nias, dan tidak semua disebut orang Nias karena tidak semua keturunan leluhur Nias asli. Mereka bisa digolongkan sebagai pendatang yang telah lama hidup di Nias sampai beberapa generasi. Contoh, orang-orang cina, aceh, mentawai dsb.
[2] Hoho adalah syair yang ditembangkan. Syair ini masih dinyanyikan dalam pesta-pesta adat, juga oleh mereka yang sudah beragama Nasrai, bdk: Prof. Dr. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1976), hlm. 51
[3] Lowalangi adalah nama yang terlanjur dipopulerkan sebagai dewa pencipta/Allah oleh misionaris Kristen Denniger padahal dewa tertinggi dalam mitologi Nias adalah Sihai.
[4] Sumber ini masih bisa diragunkan karena Sihai adalah nama dewa maha pencipta manamungkin dijadikan tongkat lowalangi. Ibid.,
[5] Ibid.,
[6] Lowalangi ini sebenarnya anak dari raja Sirao yang bungsu, dialah yang berhasil memenangi sayembara perebutan tahta ayah mereka.
[7] Nama lainnya adalah Latura danõ
[8] Makluk yang menghuni air, khususnya yang dalam dan angker, bisa membunuh orang
[9] Bela ini, seperti manusia, hanya saja seluruh tubuhnya putih seperti kapas, baik itu rambut dan sebagainya. Bela ini sebagai penguasa hutan dan pemilik seluruh binatang di hutan. Bila berburu harus berdoa dan minta kepada Bela yang empunya.
[10] Tempointeraktif, (http:// www. Tempointeraktif.com/hg/nusa/sumatera/2006/11/25/brk,20061125-88428 Sabtu 25 November 2006
[11] htt://www.kompas.com/kompas-cetak/0610/04/humaniora/3002327.htm
[12] Sumber dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia Indonesia
[13] Bandingkan: Pastor Johannes Maria Harmmerte, OFMCap, Asal Usul Masyarakat Nias, Suatu Intepretasi, (Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias, 1999), hlm. 201
[14] Ibid.,
[15] Koentjaraningrat Op. Cit., hlm. 50
[16] Koentjaraningrat, Op.Cit., hlm. 50
[17] Ibid., hlm. 51
[18] Ibid., hlm. 47
[19] Sumber dari Pastor Ote OSC
[20] Koentjaraningrat, Op.Cit., hlm. 48
[21] Sebab dalam mitologinya, orang Nias percaya bahwa roh orang meninggal, masih berada di sekitar rumah sebelum dia didoakan atau diupacarakan.
[22] Pernyataan ini hanyalah sekedar keyakinan yang tidak bisa dipertanggungjwabkan kebenarannya.
[23] Bahkan bayang-bayang orang yang telah meninggal tidak bisa mengenai orang yang masih hidup karena bisa sakit. Maka pemutusan hubungan secara total bagi arwah itu adalah mutlak hukumnya.

Making the family as a cultural force prosperous and harmonious

Asal Usul Leluhur Ono Niha - Nias






A. Asal-Usul Nias adalah gugusan pulau yang jumlahnya mencapai 132 pulau, membujur di lepas pantai barat Sumatra menghadap Samudra Hindia. Tidak semua pulau-pulau tersebut berpenghuni. Hanya ada sekitar lima pulau besar yang dihuni oleh manusia, yaitu Pulau Nias (9.550 km²), Pulau Tanah Bala (39,67 km²), Pulau Tanah Masa (32,16 km²), Pulau Tello (18 km²), dan Pulau Pini (24,36 km²). Di antara kelima pulau tersebut, Pulau Niaslah yang berpenghuni paling padat, dan menjadi pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan (Koestoro, Wiradnyana, 2007). Pulau yang terkenal dengan budaya megalitiknya ini menyimpan beberapa misteri dan keunikan. Termasuk mengenai asal-usul leluhur orang Nias saat ini. Para penghuni pulau ini menyebut dirinya sebagai ono niha (orang Nias) yang diyakini oleh sebagian ahli antropologi dan arkeologi sebagai salah satu puak-puak tertua di Nusantara. Ada beberapa versi mengenai siapa sebenarnya leluhur orang Nias saat ini, baik yang bersumber dari hoho (cerita lisan yang berkembang di masyarakat Nias dan diwariskan secara turun-temurun sehingga menyerupai mitos), maupun data-data ilmiah temuan para arkeolog. Hoho yang berkembang di Nias menyebutkan bahwa manusia pertama yang tinggal di Nias adalah sowanua atau ono mbela. Ono mbela merupakan keturunan penguasa kayangan, Ibu Sirici, yang memerintahkan keenam anaknya untuk turun ke bumi menggunakan liana lagara, sejenis tumbuhan yang biasanya merambat di pohon. Karena liana lagara yang digunakan telah rapuh, sebagian di antara mereka ada yang jatuh ke bumi dan sebagian yang lain memilih tinggal di atas pohon. Anak turun Ibu Sirici yang memilih tinggal di atas pohon inilah yang kemudian disebut sebagai sowanua atau ono mbela (manusia pohon). Ono mbela dikenal memiliki kulit yang putih dan berparas cantik ((Hammerle, 2007). Ciri-ciri fisik tersebut mengundang para peneliti untuk membuat sebuah interpretasi bahwa ono mbela berjenis kelamin perempuan. Lantas ke mana perginya anak turun Ibu Sirici yang jatuh ke tanah? Menurut sebuah versi hoho yang lain, mereka kemudian menyelamatkan diri dengan mencari perlindungan di gua-gua. Mereka tidak lagi disebut sebagai ono mbela tetapi nadaoya atau manusia yang menghuhi gua. Secara fisik keduanya berbeda. Jika ono mbela dikenal memiliki kulit putih dan berparas cantik, maka nadaoya dikenal memiliki kepala dan tubuh yang lebih besar dengan kulit berwarna gelap. Besar kemungkinan keduanya sudah tergolong bangsa manusia, namun berasal dari ras yang berbeda, bukan satu keturunan. Lantaran keterbatasan pengetahuan yang dimiliki penduduk Nias waktu itu, juga tata cara hidup yang berbeda, asal-usul keduanya kemudian cenderung dimitoskan karena dianggap memiliki nenek moyang yang berbeda dengan manusia pendatang. Apa yang dijelaskan hoho ini didukung oleh bukti-bukti ilmiah. Berdasarkan hasil penelitian Badan Arkeologi Medan, di Nias ditemukan jejak-jejak manusia prasejarah yang meninggalkan artefak-artefak di gua-gua, salah satunya yang terkenal adalah di Gua Tőgi Ndrawa yang terletak di Desa Lőlőwanu Niko‘otanő, Kecamatan Gunung Sitoli. Jejak kehidupan tersebut dapat ditemukan melalui alat-alat tulang dan batu berupa serpih, batu pukul, dan pipisan (Wiradnyana, 2006). Selain itu, juga ditemukan sisa-sisa vertebrata yang terdiri dari ikan (pisces), ular (ophodia), kura-kura (rodentia), kelelawar (chiroptera), hewan berkuku genap (artiodactyla), dan cangkang moluska dari kelas gastropoda dan pelecypoda (Wiradnyana, 2008). Di Nias juga berkembang hoho yang lain, tepatnya di Kecamatan Gomo, Kabupaten Nias Selatan. Hoho ini terkait dengan nama Gomo untuk kecamatan yang dimaksud. Kata gomo, memiliki makna owo–gomo–omo, yang berarti perahu –gomo– rumah (Hammerle, 2001). Dahulu kala, terdapat rombongan manusia perahu berasal dari daratan Asia yang terombang-ambing di tengah samudra yang kemudian terdampar di Nias. Meskipun Hammerle mengakui pendapatnya ini tidak memiliki cukup bukti ilmiah, namun tafsir yang dikemukakannya cukup masuk akal. Ia menghubungkan perahu dengan sejarah asal-usul suku Nias yang datang dari seberang lautan. Mereka terdampar di pantai sekitar muara sungai, lalu membangun rumah (omo) di pinggir sungai yang sekarang dikenal dengan Sungai Gomo. Jadi, kata gomo ada hubungannya dengan owo (perahu) dan omo (rumah) (Sonjaya, 2008). Meskipun hoho yang berkembang di Nias tidak hanya seperti yang disebut di atas (karena hampir setiap marga memiliki hoho-nya masing-masing), namun ketiga hoho inilah yang sampai saat ini paling diyakini sebagian besar orang Nias. Dilihat dari rasnya, orang Nias termasuk dalam rumpun Austronesia. Bahasa sehari-hari yang digunakannya, yaitu bahasa Nias, juga semakin memperkuat pendapat tersebut. Secara genealogis, bahasa Nias tergolong rumpun bahasa Austronesia. Ciri dialek bahasa Nias adalah nada yang meninggi di akhir kata dan kalimat. Menurut Reuter (2005), bahasa Austronesia dituturkan secara luas, dari Madagaskar di ujung barat —melintasi Asia Tenggara Daratan maupun Kepulauan hingga ke arah timur melintasi kawasan Pasifik yang berujung di Selandia Baru dan Hawaii. Secara umum, kebudayaan yang berkembang di Nias juga memiliki kesamaan dengan kawasan-kawasan Austronesia lainnya, yaitu berciri megalitik, memuja roh leluhur, dan bercocok tanam. Dilihat dari topografinya, Nias adalah dataran rendah yang di tengahnya terdapat bukit-bukit. Mayoritas penduduknya masih tinggal di pedalaman, di kampung-kampung yang saling mengisolasi, dan berprofesi sebagai petani. Meskipun metode bertani masyarakat Nias masih bersifat sederhana, tetapi mereka tetap mampu menghasilkan beberapa komoditas unggulan, seperti kelapa, karet, cokelat, dan nilam. Akhir-kahir ini –setelah dikelola lebih serius— sektor pariwisata juga merupakan tulang punggung perekonomian penduduk Nias. Di bidang pariwisata, potensi wisata Nias terletak dijalur yang disebut Segitiga Emas Industri Pariwisata Nias Selatan, yaitu Kecamatan Lolowa‘u –Gomo— Pulau-pulau Batu. Porosnya terletak di omo hada, rumah tradisional di Desa Bawomataluo, Kecamatan Teluk Dalam (Julianery, Kompas 06/04/2006). Pulau Nias B. Konsepsi Leluhur Orang Nias Untuk mengetahui lebih jelas dari mana asal-usul atau leluhur orang Nias saat ini, perlu disebutkan terlebih dahulu sejarah lisan yang berkembang di Nias mengenai pembagian kelompok etnis yang ada di pulau ini. Masyarakat Nias meyakini terdapat tiga kelompok etnis berbeda yang pernah —bahkan sampai saat ini keturunannya dianggap masih tinggal di Nias, yaitu: (1) Niha sebua gazuzu, yaitu manusia yang memiliki kepala besar dan merupakan ciri manusia purba yang hidup ribuan tahun lalu dan tinggal di gua-gua, sehingga mereka juga disebut manusia dari bawah tanah (soroi tou). Dalam hoho di atas mereka disebut nadaoya; (2) Niha safusi,yaitu kelompok manusia berkulit putih dan cantik yang tinggal di atas pohon. Dalam hoho di atas mereka disebut sebagai ono mbela; (3) Lani ewöna, yaitu bangsa manusia yang sudah dikategorikan sebagai homo sapiens yang bermigrasi dari seberang lautan dengan keahlian dan pengetahuan yang lebih tinggi dari kedua pendahulunya, sehingga mereka berpengaruh besar dan membawa transformasi sosial di Nias. Kelompok etnis inilah yang selanjutnya memproklamirkan diri sebagai ono niha (orang Nias) (Hammerle, 2001). Namun, seiring berjalannya waktu, dan seolah-olah mengamini ramalan Teori Evolusi, hanya kelompok etnis lani ewöna lah yang sanggup bertahan hidup di Pulau Nias. Mereka memiliki teknologi yang lebih maju, sehingga sanggup bertahan hidup tidak hanya dari mengandalkan sumber pangan yang tersedia di alam tetapi memiliki ketrampilan untuk mengolah tanah dan bercocok tanam. Kemampuan inilah yang diduga banyak arkeolog telah membuat manusia ini sanggup bertahan hidup dalam waktu yang lama. Berbeda dengan kedua pendahulunya yang sangat tergantung dengan alam. Ketika sumber pangan yang tersedia di alam semakin menipis, mereka akhirnya terdesak dan kemudian punah. Sebelum dapat dipastikan bahwa hanya lani ewönalah yang merupakan leluhur manusia Nias saat ini, perlu kiranya dijelaskan terlebih dahulu tentang kedua pendahulunya secara lebih lengkap karena hal ini dapat membantu mencari tahu siapa sebenarnya mereka dan mengapa mereka menjadi punah. 1. Ono mbela atau Niha Safusi Sebagaimana disebut di atas, ono mbela adalah mahluk yang hidup di atas pohon. Di kalangan orang Nias, terdapat dua pendapat yang berbeda mengenai mahluk ini. Sebagian penduduk Nias meyakini bahwa ono mbela adalah benar-benar manusia yang pernah hidup di Nias. Sedangkan sebagian yang lainnya menganggap ono mbela bukan manusia, melainkan mahluk gaib yang menguasai segala macam binatang di hutan. Namun, mengenai ciri fisik yang dimiliki ono mbela, masyarakat Nias tidak berselisih pendapat. Ono Mbela memiliki rambut putih, kulit putih, berparas cantik, dan mata biru seperti orang Eropa. Ono mbela sudah menghuni Nias jauh sebelum ono niha datang ke pulau ini. Ono mbela kemudian kalah bersaing dengan kelompok pendatang dan seringkali “dibodohi” karena dianggap lebih rendah dan bukan berasal dari golongan manusia. Dengan nada sombong, para pendatang ini kemudian menegaskan dirinya sebagai satu-satunya kelompok yang berhak menghuni pulau Nias. Akibat dominasi dari pendatang yang memiliki teknologi dan kebudayaan yang lebih maju, ono mbela mulai terdesak, dan akhirnya mengundurkan diri hingga tidak dapat dijumpai lagi (Hammerle, 2001). Sayang, usaha untuk membuktikan bahwa ono mbela adalah manusia selalu terbentur dengan data. Sejauh ini, belum ditemukan –bahkan tidak akan pernah –artefak-artefak yang menjelaskan bahwa mahluk ini pernah hidup di Nias. Hal ini sebenarnya dapat dimaklumi, karena jejak-jejak di tempat terbuka memang lebih mudah terhapus atau hilang karena proses alam atau aktivitas manusia, seperti pembakaran hutan dan perladangan yang intensif. Untuk menjelaskan keberadaan ono mbela di Nias, ada dua hipotesis yang dapat diajukan. Hipotesis pertama menyebutkan bahwa ono mbela adalah ras Australomelanesid, manusia pertama yang menghuni wilayah Asia Tenggara. Seiring berjalannya waktu, keberadaan mereka kemudian menjadi mitos bagi masyarakat Nias dari generasi baru sesudahnya. Hipotesis yang kedua menyebutkan bahwa ono mbela merupakan ras Mongoloid yang datang lebih awal ke Nias yang sebenarnya sudah membawa kebudayaan neolitik, namun tidak berkembang di Nias karena kondisi lingkungan menuntut para pendatang ini mengembangkan tradisi perburuan (Sonjaya, 2008). 2. Nadaoya atau Niha Sebua Gazuzu Nadaoya dianggap sebagai salah satu makhluk yang mungkin telah hidup sezaman dengan ono mbela. Hal ini dibenarkan oleh salah satu hoho yang berkembang di Nias, bahwa antara ono mbela dan nadaoya berasal dari satu keturunan, yaitu Ibu Sirici. Dilihat dari ciri fisiknya, nadaoya berkulit gelap dan memiliki kepala yang besar. Mereka diduga adalah manusia purba dari ras Austromelanesid yang hidup di lembah-lembah yang dalam dan gelap serta di tebing sungai yang tinggi dan terjal. Habitat yang dimaksud menjurus pada gua-gua, sebagaimana umumnya manusia purba lainnya. Dalam kepercayaan dan tradisi lisan Nias yang berkembang di Nias, nadaoya digambarkan sebagai makhluk jahat atau setan raksasa (bekhu sebua). Suaranya besar sekali, aksentuasi bunyinya tidak jelas, dan terdengar patah-patah. Bagi orang Nias, bertemu dengan nadaoya adalah sebuah malapetaka. Sebab, kalau mereka lewat dan bertemu dengan manusia, mereka akan langsung memangsa manusia tersebut. Sampai saat ini, cerita tentang kejahatan nadaoya masih berkembang. Jangankan bertemu, menyebut nama nadaoya saja adalah hal yang menakutkan bagi masyarakat Nias. Apalagi kalau penyebutan itu dimaksudkan untuk mengutuk orang lain: ya mu‘a ö nadaoya ya mana ndraugö nadaoya (semoga nadaoya mamangsa engkau). Ungkapan ini adalah sesuatu yang keras dan ditakuti orang Nias. Kalau dikaji tentang asal-usul masyarakat Nias, lalu dihubungkan dengan bukti-bukti material yang terdapat di dalam gua-gua (seperti artefak-artefak yang ditemukan di Gua Tőgi Ndrawa yang terletak di Desa Lőlőwanu Niko‘otanő, Kecamatan Gunung Sitoli) dan tradisi lisan sebagaimana diceritakan di atas, maka nadaoya merupakan kelompok manusia purba yang pernah tinggal di Nias dan menganut hukum rimba. Mereka sudah hadir di pulau Nias sebelum kedatangan etnis lain. Dengan demikian, mereka bukanlah setan raksasa. Mereka semakin ganas karena terpojok dan tidak memiliki tempat lagi untuk berkembang, karena alam telah dirusak oleh manusia yang memiliki pengetahuan (Nata‘alui Duha, 2008). Gua Tőgi Ndrawa Jika kita merujuk pada data arkeologis yang dipublikasikan Badan Arkeologi Medan, nadaoya benar-benar pernah hidup di Nias. Mereka tinggal di gua-gua sejak 12.000 tahun yang lalu, bahkan berlanjut hingga tahun 1150-an. Mereka memanfaatkan biota laut dan mangrove. Budaya yang mereka miliki disebut budaya Hoabinh, sebuah praktek kehidupan yang memanfaatkan batu-batuan sebagai alat bantu yang disebut Sumatralith, mirip dengan teknologi yang digunakan manusia purba di wilayah Hoabinh, Vietnam (Wiradnyana, 2006). Dilihat dari rentang masa hidupnya, kemungkinan besar nadaoya pernah hidup dalam waktu yang bersamaan dengan kelompok pendatang. Hanya saja, karena manusia gua belum mengenal teknologi bercocok tanam, akhirnya mereka kalah bersaing dengan manusia pendatang. Akibatnya, kelompok mereka lambat-laun lenyap, dalam arti punah, atau sebagian membaur dengan kelompok pendatang dalam jalinan pernikahan atau hubungan ekonomi (tuan-budak) (Sonjaya, 2008). Terkait dengan kondisi di atas, Sonjaya (2008) dengan sangat baik membuat analogi mengenai interaksi antara manusia gua dengan kelompok pendatang. Interaksi antara manusia gua dengan kaum pendatang mirip interaksi antara masyarakat Baduy dengan masyarakat Jakarta. Jakarta sudah berbudaya metropolis, sedangkan Baduy berbudaya ladang yang masih menggunakan beliung batu untuk bercocok tanam. Dalam waktu yang sama dan wilayah yang sama (Jawa bagian Barat) berkembang dua kebudayaan yang secara teknologis sangat berbeda ibarat bumi dan langit. Perlahan-lahan Baduy sedang berubah karena gencarnya pengaruh globalisasi dari Jakarta. Suku yang menurut Yuanzhi (2005), sebagai salah satu suku tertua di Nusantara, dan sudah bertahan ratusan bahkan ribuan tahun ini barangkali tidak lama lagi akan punah karena meluruhnya sekat-sekat budaya, sosial, dan ekonomi di antara keduanya. Kehidupan manusia gua dengan kelompok pendatang di Nias pada abad-abad yang lalu dapat dibayangkan seperti kehidupan antara orang Baduy dengan orang Jakarta. 3. Lani Ewöna atau Ono Niha Menurut Teori Persebaran Kebudayaan, leluhur orang Nias atau ono niha saat ini berasal dari daratan Cina bagian selatan, tepatnya wilayah Yunan. Hal ini dapat dilihat dari bukti-bukti linguistik dan arkeologi. Leluhur ono niha adalah penutur bahasa Austronesia yang bermigrasi dari Yunan secara bergelombang sekitar 3500 tahun sebelum Masehi hingga awal-awal Masehi (Sonjaya, 2008). Konon, ketrampilan orang Nias dalam membuat patung kayu, menhir, benda-benda megalitik lainnya, serta teknik bertani dan beternak, diwarisi dari orang-orang Yunan yang datang ke pulau ini. Hipotesis ini bertambah kuat jika melihat peralatan dan gaya arsitektur di Nias. Pengaruh itu berupa motif kepala naga (hewan yang melegenda di Cina) yang terdapat pada pegangan atau gagang pedang, bagian depan rumah bangsawan, peti mayat, dan sejumlah megalit di daerah Lahusa dan Gomo (Hammerle, 2007). Kelompok pendatang ini juga tidak lagi tergantung dengan alam, karena sudah mengenal tata cara bercocok tanam dan food producing. Mereka sudah tinggal menetap. Banyaknya waktu luang juga telah mendorong mereka memikirkan dan membayangkan hal-hal yang abstrak, seperti keindahan. Ekspresi keindahan tersebut dapat dilihat pada manik-manik yang terdapat di pakaian orang Nias dan gelang yang dipakai di lengan dan kaki. Dilihat dari periodenya, masa ini disebut sebagai zaman neolitikum yang ditandai dengan kemampun food producing dan benda-benda kebudayaan, seperti tembikar, kapak batu, patung, dan lain-lain. Atas keunggulannya itu, para pendatang dari Yunan yang berkebudayaan neolitik kemudian memproklamirkan diri sebagai kelompok pertama yang telah meletakkan dasar-dasar kebudayaan sebagaimana diekspersikan manusia Nias saat ini. Mereka juga menyebut dirinya sebagai anak manusia yang berbeda dengan kelompok manusia yang tinggal di pohon dan di gua, seperti ono mbela dan nadaoya (Sonjaya, 2008). Orang-orang Yunan tersebut diperkirakan tiba di Nias melalui Pelabuhan Singkuang, Tapanuli Selatan. Apabila dilihat di peta, Kota Singkuang terletak persis di sebelah utara pantai barat Sumatra. Mereka kemudian bergerak ke arah barat dan sampai di wilayah Lahusa dan Gomo, yang sekarang ini menjadi pusat pemerintahan tingkat kecamatan. Jarak yang ditempuh sekitar 110 kilometer, lebih dekat dibandingkan perjalanan dari Sibolga menuju Gunung Sitoli. Sampai sekitar 500 tahun yang lalu, pusat perkembangan kebudayaan Nias masih terletak di tepi Sungai Susua dan Gomo (Hammerle, 2007). Jika dihubungkan dengan salah satu hoho yang berkembang di Nias, khususnya di Kecamatan Gomo, hipotesis ini bertambah kuat. Kata gomo, memiliki makna owo–gomo–omo, yang berarti perahu –gomo– rumah. Owo merujuk pada alat transportasi yang digunakan oleh orang-orang Yunan waktu itu, yaitu perahu. Gomo merujuk pada wilayah yang dihuni, yaitu di daerah Gomo. Sedangkan omo merujuk pada rumah yang dibangun di sekitar pinggiran Sungai Gomo (Sonjaya, 2008). Kedatangan orang-orang Yunan dengan kemampuan teknologi yang lebih maju inilah yang disinyalir telah mendesak keberadaan ono mbela dan nadaoya. Karena kalah bersaing dalam memperebutkan sumber daya alam, mereka lama-kelamaan menjadi punah (Nata‘alui Duha, 2008). Secara lebih sistematis, penyebab kepunahan ono mbela dan nadaoya kira-kira dapat diilustrasikan sebagai berikut: Pertama, berlakunya hukum rimba. Manusia purba menganut hukum rimba, siapa yang kuat, maka dialah yang menang dan dapat bertahan hidup. Ketika orang Yunan datang ke Nias, dengan berbagai keunggulan pengetahuan dan teknologinya, secara logika mereka lebih kuat dibanding dengan ono mbela dan nadaoya. Sebab, mereka tidak hanya mengandalkan otot dalam menguasai alam untuk mempertahankan hidup, tetapi juga otak. Ono mbela dan nadaoya yang terdesak kemudian mengasingkan diri. Karena hanya mengandalkan ketersediaan pangan dari alam, mereka akhirnya punah karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial yang terus berubah dan sumber pangan yang semakin menipis. Mungkin juga telah terjadi peperangan di antara mereka yang disebabkan oleh perbedaan etnis. Kaum pendatang yang menguasai teknologi lebih maju, akhirnya memenangkan peperangan tersebut. Kedua, sumber daya alam yang menipis. Lantaran manusia purba seperti kelompok ono mbela dan nadaoya sangat bergantung pada alam, maka ketika alam rusak dan hutan habis dibabat secara liar, habitat mereka semakin terjepit. Tidak ada tempat dan sumber makanan untuk dapat bertahan hidup. Maka mereka tidak berkembang dan akhirnya punah. Ketiga, pembauran melalui perkawinan. Persinggungan antara kelompok pendatang dengan kelompok-kelompok asli tidak hanya berujung pada persaingan dan peperangan saja, tetapi juga sangat mungkin telah terjadi perkawinan di antara mereka. Terlebih lagi –seperti dijelaskan sebelumnya bahwa kelompok ono mbela itu cantik-cantik, sehingga sudah barang tentu, suka atau tidak suka, mereka potensial dikawini oleh kaum pendatang yang lebih pintar. Mereka bagaikan gadis desa yang lugu tetapi cantik yang selalu menjadi incaran para pria dari kota sebagaimana terjadi pada zaman sekarang. Keturunan mereka tidak lagi disebut sebagai kelompok ono mbela atau nadaoya, tetapi mengikuti garis keturunan kelompok yang lebih dominan dan berkuasa. Mengenai hal ini, Hammerle (2001) mengusulkan kepada para peneliti untuk meneliti DNA manusia Nias saat ini untuk menguji apakah telah terjadi pembauran secara genetik antara kelompok pendatang dengan kelompok asli. Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa pendapat yang paling kuat tentang siapa sebenarnya leluhur orang Nias atau ono niha saat ini adalah lani ewöna, imigran yang berasal dari Yunan, Cina bagian selatan. Meskipun kesimpulan ini juga tidak menampik fakta (jika telah dibuktikan secara ilmiah) bahwa telah terjadi perkawinan antara lani ewöna dengan ono mbela dan nadaoya. Namun, jika dilihat ciri-ciri fisik orang Nias saat ini, yaitu berkulit putih, bermata agak sipit, bertubuh gempal dan pendek, pendapat yang mengatakan bahwa leluhur orang Nias berasal dari Yunan sangat beralasan, karena pada umumnya orang-orang Cina juga memiliki ciri-ciri fisik yang sama. Setelah beratus-ratus, bisa juga beribu-ribu tahun, nyaris tidak ada kelompok etnis lain yang menjadi pesaing lani ewöna di Nias, mereka menjadi satu-satunya kelompok yang berkuasa, sehingga mereka lebih leluasa untuk mengembangkan tempat pemukiman. Orang-orang Nias mulai beranjak dari tempat tinggal para leluhurnya di sepanjang Sungai Gomo, terutama di daerah Börönadu (sekarang sebuah desa yang berada di Kecamatan Gomo). Hal ini dapat dilihat dari sejarah lisan yang berkembang di Börönadu. Menurut Ama Watilina Hia, tokoh adat di Börönadu, nenek moyang orang-orang di Gunung Sitoli dan Teluk Dalam berasal dari Börönadu. Orang-orang Gunung Sitoli adalah keturunan orang Börönadu yang bernama Lase, sedangkan nenek moyang orang Teluk Dalam adalah orang Börönadu yang bernama Sadawamölö (Sonjaya, 2008). Sejarah lisan ini diperkuat oleh pendapat M.G. Thomsen dalam bukunya yang berjudul Famareso Nhawalö Huku Föna Awö Gowe Nifasindro (Megalithkultur) Ba Dano Nias (1976) yang menyebutkan bahwa perpindahan marga-marga besar dari Börönadu ke tempat-tempat lain berlangsung antara 26 sampai 40 generasi yang lalu (Sonjaya, 2008). Satu generasi sama dengan 25 tahun. Sayangnya, pendapat Thomsen tersebut tidak diikuti dengan penjelasan ke mana persebaran orang-orang Börönadu tersebut. Lebih jelasnya sebagai berikut: “Telambanua bersama klannya pindah dari Börönadu kira-kira 40 generasi yang lalu. La‘ia bersama klannya pindah dari Börönadu 38 generasi yang lalu. Ndururu bersama klannya pindah dari Börönadu 36 generasi yang lalu. Zebua bersama klannya pindah dari Börönadu 38 generasi yang lalu. Dan Hulu bersama klannya pindah dari Börönadu 26 generasi yang lalu.” Sejak proses persebaran tersebut, marga-marga besar di Nias mulai terbentuk, yang berujung pada munculnya bibit-bibit persaingan dan permusuhan antarsesama orang Nias. Bagi orang Börönadu, orang-orang yang meninggalkan Börönadu dianggap sebagai orang yang tidak menghormati adat dan leluhur, meskipun proses perpindahan tersebut mungkin lebih disebabkan oleh faktor-faktor pragmatis, seperti mencari sumber kehidupan yang lebih layak menuju daerah yang lebih makmur, karena secara geografis Börönadu memang terpencil. Setelah peristiwa tersebut, persaingan antarmarga semakin kuat dan atmosfirnya masih terasa hingga sekarang. Suasana interaksi antarmarga dan antarkampung diwarnai egosentrisme, yaitu melihat marga atau kampung yang lain selalu dari perspektif marga dan kampung sendiri. Setiap marga berusaha menampilkan dirinya sebagai marga dengan identitas yang paling unggul. Fenomena ini sejalan dengan Teori Identitas Sosial, yang berasumsi bahwa pada dasarnya setiap individu yang tergabung dalam kelompok sosial tertentu cenderung akan membangga-banggakan kelompoknya sendiri, dan menganggap kelompok yang lain lebih buruk atau rendah (Deschamps, 1982). Titik puncak dari suasana persaingan dan permusuhan tersebut adalah berlakunya tradisi owasa (pesta 3 hari tiga malam dengan mengorbankan puluhan, bahkan ratusan babi) dan tradisi mangani binu (memburu kepala manusia), yang diperkenalkan pertama kali oleh tokoh bernama Awuwukha, manusia digdaya yang hidup di Nias pertengahan abad ke-19. Tradisi tersebut adalah simbol identitas dan kebanggaan orang Nias. Harga diri seseorang ditentukan oleh berapa jumlah kepala babi dan kepala manusia dari marga lain yang telah dipenggal. Mekipun tradisi ini mulai menyusut pengaruhnya semenjak para misionaris Barat mewartakan agama Kristiani di pulau ini pada akhir abad ke-19 M dan awal abad ke-20 M, suasana permusuhan yang terwarisi secara lintas generasi tersebut ternyata tidak hilang sepenuhnya, dan masih berdampak pada pembentukan kepribadian orang Nias saat ini. Wajar saja –jika orang Nias kemudian dianggap memiliki kecurigaan yang tinggi dan cenderung menutup diri ketika berhadapan dengan orang asing (Hammerle, 2001). C. Implikasi Sosial Di bagian ini akan dibahas implikasi-implikasi sosial sebagai bagian dari konsekuensi pemahaman orang Nias terhadap leluhur mereka. Orang Nias adalah kelompok etnis yang sampai saat ini masih cukup kuat memegang teguh tradisi, yang diwariskan secara turun-temurun oleh leluhurnya. Tradisi menjadi semacam sarana yang dapat menjadi jembatan komunikasi antara orang Nias saat ini dengan leluhurnya, dan juga dapat berfungsi sebagai media untuk mengukuhkan identitas sosial. Terkait dengan tradisi penghormatan terhadap leluhurnya, orang Nias mempraktekkan ritual-ritual tertentu agar hubungan baik dengan leluhur tetap terbina. Orang Nias mewarisi sebuah tradisi yang kompleks dari leluhurnya. Mereka memraktekkan banyak ritual, karena hampir setiap peristiwa kehidupan dihayati dan dimaknai sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Namun, bagian ini tidak bermaksud menjelaskan itu semua. Bagian ini hanya berusaha membabarkan ritual-ritual khusus yang secara langsung berkorelasi dengan penghormatan terhadap nenek moyang atau leluhur orang Nias. Di atas telah dijelaskan tentang ono mbela, mahluk yang dianggap sebagai salah satu leluhur orang Nias, meskipun di Nias sendiri terjadi perbedaan pendapat apakah ono mbela merupakan generasi pertama penghuni Pulau Nias, atau sebangsa mahluk halus. Terlepas dari pendapat mana yang benar, yang pasti keberadaannya sampai saat ini masih berpengaruh cukup kuat terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat Nias. Ono mbela adalah mahluk yang tinggal di atas pohon, yang berkuasa atas kehidupan seluruh marga satwa di hutan. Sehingga, ketika orang Nias hendak berburu binatang di hutan, mereka harus menyelenggarakan ritual persembahan sebagai bentuk penghormatan (dalam bahasa jawa pamit) kepada ono mbela. Ritual persembahan tersebut dilaksanakan dengan cara mengorbankan anak babi atau ayam berbulu putih di bawah pohon besar di hutan yang dianggap sebagai rumah ono mbela. Setelah memberi persembahan tersebut, si pemburu kemudian pulang ke rumah dan wajib melakukan puasa selama empat hari. Selama berpuasa, ia tidak boleh berdusta dan tidak boleh berpergian ke mana-mana. Setelah puasa selesai ditunaikan, ia baru diperbolehkan pergi ke hutan untuk berburu (biasanya ditemani anjing) (Sonjaya, 2008). Ritual tersebut seolah-olah menggugurkan pendapat yang mengatakan bahwa hubungan antara orang Nias dengan ono mbela selalu berada dalam situasi permusuhan. Bahkan di daerah Börönadu, ono mbela lebih populer dengan sebutan belada, yang artinya adalah sahabat atau kawan. Dengan demikian, fakta ini dapat dijadikan sebagai bukti bahwa punahnya ono mbela di wilayah Nias bukan karena direndahkan atau diperangi oleh orang Nias (ono niha), melainkan lebih karena faktor seleksi alam sebagaimana berlaku dalam Teori Evolusi, yaitu kalah bersaing dalam hal teknologi dan kebudayaan. Dengan aksentuasi nilai yang berbeda, di Nias juga terdapat tradisi penghormatan terhadap leluhur yang disebut mangani binu atau tradisi memburu kepala. Kepala yang dimaksud bukanlah kepala hewan, melainkan kepala manusia. Bagi pihak yang kurang memahami budaya Nias secara lebih utuh, tradisi ini mungkin dianggap sebagai kebiadaban –praktek kebudayaan paling keji– yang pernah dibuat oleh anak manusia. Bahkan, seringkali terjadi kesalahpahaman yang berujung pada tuduhan bahwa orang Nias dulunya adalah termasuk suku kanibal, sebagaimana diungkapkan oleh Masashi (2005). Mengenai hal ini dia menulis: “In the tenth century, Ajä‘ib al-Hind described the people between Fansur (present day Barus) and Lambri and those in Kedah and the island of Nias as cannibals.” Meskipun secara moral tradisi mangani binu tidak dibenarkan, namun dengan menelusuri konteks sosio-historis masyarakat Nias zaman dulu, diharapkan akan ditemukan titik terang mengapa tradisi ini bisa berlaku. Dalam sejarah lisan yang berkembang di Nias, tradisi mangani binu tidak dapat dipisahkan dari legenda Awuwukha, sosok manusia digdaya yang pernah hidup di Nias pertengahan abad ke-19 M. Mengenai kapan persisnya Awuwukha pernah hidup, telah terjadi silang pendapat. Menurut Sonjaya (2008), Awuwukha hidup sekitar 5 generasi (setiap generasi sama dengan 25 tahun) yang lalu. Sedangkan menurut Thomsen (dalam Zebua, 2008), Awuwukha hidup jauh lebih lama, yaitu sekitar 7 generasi yang lalu. Untuk membuktikan pendapat siapa yang lebih benar, menurut Zebua perlu dilakukan pembuktian triangulasi, mencari sumber pembanding lainnya yang dianggap lebih valid. Sejenak kita lupakan dulu silang pendapat di atas, karena mengetahui siapa sosok yang dimaksud sebagai Awuwukha jauh lebih penting. Mengenai tradisi mangani binu yang identik dengan sosok Awuwukha, Sonjaya menceritakan faktor pencetus tradisi tersebut sebagai berikut: “…..kira-kira pertengahan abad ke-19, di Börönadu hidup seorang manusia pemberani dan hebat karena kepiawaiannya dalam membunuh orang, bernama Awuwukha. Pada suatu hari, datanglah ke Börönadu seseorang dari Susua yang menyebarkan kabar bahwa di kampungnya akan diadakan sebuah pesta owasa yang cukup besar. Ia berjalan di tengah perkampungan sambil meneriakkan pengumuman tersebut dengan harapan akan banyak warga Börönadu yang datang ke pesta tersebut. Ketika melewati rumah Awuwukha, si pembawa kabar tersebut terhenti langkahnya karena ada teriakan seorang ibu yang cukup mengganggu dirinya. “Hey, lelaki yang kelihatan kemaluannya! Untuk apa teriak-teriak seperti itu?” teriak perempuan yang tiada lain adalah ibu Awuwukha. Bagi orang Nias, itu termasuk ungkapan yang sangat mengejek. Karuan saja si pembawa kabar tersebut marah dan memukulkan kemaluannya ke tiang rumah ibu Awuwukha hingga tiang rumah gempal. Orang itu melampiaskan kemarahannya dengan menunjukkan bahwa kemaluannya seharusnya tidak diejek. Setelah puas menunjukkan kejantanannya, ia pun kemudian pergi meninggalkan Börönadu.” (Sonjaya, 2008: 63). Selang beberapa hari kemudian, ternyata lelaki tersebut datang lagi ke Börönadu dengan serombongan orang untuk menuntaskan kemarahannya. Rumah Awuwukha dan tujuh rumah saudaranya kemudian dibakar rombongan orang tersebut, termasuk lumbung padi milik Laimba, tokoh adat masyarakat Börönadu. Awuwukha hanya bisa berdiri mematung– terbelalak melihat kejadian tersebut. Sambil menahan amarah yang sudah mencapai ubun-ubun, di depan ibunya– Awuwukha bersumpah akan menuntut balas dengan cara memenggal kepala orang-orang yang terlibat dalam pembakaran tersebut. Tanpa persetujuan ibunya dan Laimba, Awuwukha nekad pergi untuk menuntut balas ke Susua. Beberapa hari kemudian: “……dengan langkah tenang Awuwukha pulang dengan membawa belasan kepala manusia di dalam karung yang kemudian ditunjukkannya pada Laimba. Ternyata Laimba tidak berkenan dengan hal itu. Ia sebenarnya menghendaki musuhnya dibawa hidup-hidup. Laimba sadar betul bahwa dengan kejadian tersebut pertumpahan darah pasti akan berlanjut.” (Sonjaya, 2008: 65). Dugaan Laimba terbukti. Penduduk Susua merencanakan pembunuhan terhadap Awuwukha, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Tapi semuanya berujung pada kegagalan. Awuwukha terlampau kuat untuk dibunuh. Kehebatan Awuwukha kemudian tersiar sampai ke seluruh penjuru Nias. Kehebatannya kemudian dikukuhkan melalui upacara owasa, upacara tertinggi di masyarakat Nias. Jika seseorang telah menunaikan owasa, maka setiap perkataannya dengan sendirinya telah menjadi hukum. Sejak saat itu, setiap perkataan Awuwukha harus diikuti, bahkan sampai menjelang kematiannya. Sebelum meninggal, Awuwukha berpesan kepada anak-anak dan seluruh anggota keluarganya. Jika ia meninggal nanti, ia ingin ditemani oleh lima orang yang akan melayaninya kelak di alam kubur: satu orang menyiapkan minum, satu orang menjaga, satu orang untuk menyiapkan makanan, satu orang membuat sirih pinang, dan satu orang sebagai tukang pijat (Sonjaya, 2008). Karena setiap perkataan Awuwukha adalah hukum, maka wajib bagi anak-anaknya untuk mencarikan lima kepala untuk menemani penguburan Awuwukha. Hal ini berarti anak-anak Awuwukha harus melakukan mangani binu, karena tak kuasa menolak wasiat leluhur. Sejak kematian Awuwukha, dugaan Laimba tidak hanya sekedar kekhawatiran, tapi seolah-olah telah menjelma menjadi sebuah kutukan. Sebab, mangani binu kemudian menjadi tradisi yang mengakar kuat di Nias. Ia tidak hanya diselenggarakan untuk menghormati dan menyenangkan leluhurnya saja, tetapi kemudian juga dipraktekkan untuk kepentingan-kepentingan lainnya, misalnya membangun omo sebua (rumah bangsawan Nias). Mengenai hal ini, Yupiter Bago (dalam Zebua, 2008) berkomentar: “Produk budaya megalitik Nias justru lebih banyak ditopang oleh tradisi sawuyu dan binu, ketimbang tradisi gotong royong. Banyak omo sebua, misalnya, didirikan dengan tenaga sawuyu, menyembelih sawuyu, memenggal kepala ‘kepala tukang‘-nya, bahkan menyajikan beberapa butir kepala (binu zimate) yang didapatkan lewat ekspedisi ‘moi badano‘ ke banua (kampung) lain.” Bahkan, tradisi mangani binu juga berlaku bagi kaum lelaki yang akan meminang calon istrinya. Ia harus mempersembahkan kepala musuh kepada keluarga calon mempelai perempuan. Semakin banyak jumlah kepala yang ditunjukkan di depan calon mertua, maka semakin berharga lelaki tersebut. Bahkan, bukan hanya pelakunya saja yang layak bangga, tetapi juga leluhur-leluhurnya, karena dianggap telah berhasil melahirkan keturunan yang hebat (Hammerle, 2001). Interkoneksi antara kewajiban memuliakan leluhur dan keinginan menyandang identitas sosial yang tinggi seolah-olah menjadi justifikasi bagi tradisi manguni binu di Nias. Berbicara tentang tradisi mangani binu di Nias terasa belum lengkap jika tidak membahas sebuah ritual yang disebut famaoso dola, atau pengangkatan tulang-tulang kembali para leluhur. Upacara ini biasanya berlaku bagi kaum bangsawan. Kepala orang yang diambil waktu perburuan ditempatkan di atas kuburan bangsawan pada saat famaoso dola. Upacara ini menggambarkan pandangan eskatologis orang Nias. Ada keyakinan yang berkembang di Nias bahwa leluhur yang sudah mati itu akan bangkit kembali atau akan terjadi kelahiran kembali ketika kepala-kepala hasil buruan itu dipersembahkan (Zebua, 2008). Orang Nias meyakini bahwa roh para leluhur dapat mengendalikan alam dan kehidupan manusia. Dalam kebudayaan yang animistik, manusia selalu berusaha menjalin hubungan yang baik dengan para roh leluhur agar kehidupan dapat berjalan secara harmonis. Untuk menjalin hubungan itu, orang Nias mengenal larangan yang disepakati bersama, salah satunya tidak boleh menyebut nama leluhur secara sembarangan. Menurut aturan, jika nama leluhur hendak disebutkan, maka harus diberi persembahan terlebih dahulu, berupa makanan yang menjadi kesukaan roh yang bersangkutan. Jika larangan tersebut dilanggar, maka orang yang melanggar biasanya akan mendapat celaka (Sonjaya, 2008). Namun, setelah ajaran Kristiani mulai menancapkan pengaruhnya di Nias sejak akhir abad ke19, ritual-ritual adat di Nias mulai ditinggalkan. Ajaran Kristen yang melarang antar sesama manusia saling membunuh, mengutuk tradisi pemujaan terhadap roh leluhur, melarang mendirikan menhir dan membuat patung untuk mengenang leluhur yang sudah meninggal, melarang pesta-pesta besar karena terlalu boros, membuat pengaruh adat pelan-pelan semakin berkurang (Sonjaya, 2008). Namun, keberhasilan misi Kristiani di Nias juga banyak ditentukan oleh strategi yang cerdik dalam mengkonversi ritual-ritual adat sehingga makna ritual tersebut menjadi bergeser. Contohnya adalah diberlakukannya ritual fanano buno (menanam bunga) sebagai ganti ritual famaoso dalo (mengangkat kepala). Contoh lainnya adalah tradisi lompat batu di Nias. Menurut sejarahnya, tradisi lombat batu baru berkembang di Nias bersamaan dengan hadirnya para zendeling di pulau ini. Tradisi ini sengaja diciptakan untuk menghapus tradisi berburu kepala. Simbol kehebatan yang pada awalnya ditentukan oleh seberapa banyak jumlah kepala yang berhasil dipenggal berusaha diganti dengan kemampuan melompati batu yang tinggi (Zebua, 2008). Tradisi Lompat Batu di Nias Bagi orang Nias yang meyakini iman Kristiani sebagai panduan hidupnya, tradisi leluhur di atas memang sudah sepatutnya ditinggalkan. Jika mengenang tradisi leluhurnya yang banyak menampilkan sisi gelap, orang Nias seolah-olah berjuang keras untuk melawan beban sejarah dan trauma yang mendalam. Hal ini terbaca ketika orang Nias saat ini memberikan komentar atas tradisi leluhurnya. “Mengenai tradisi mangani binu dalam budaya megalitik Nias, saya anggap hanya untuk mengingatkan sejarah budaya dan penegasan bahwa hal itu tidak sesuai dengan era religi dan hak azasi manusia. Saya percaya tradisi mangani binu sudah lama lenyap di bumi Nias. Saudaraku, marilah kira berusaha dengan talenta kita masing-masing untuk mengangkat nilai-nilai luhur budaya ono niha yang bersemangat membangun bersama.” (Daeli, 2007). Meskipun tradisi mangani binu sudah lama ditinggalkan oleh masyarakat Nias, pembunuhan dengan memenggal kepala masih kerap terjadi hingga sekarang. Sebagai sebuah tradisi, manangi binu memang telah dikutuk (terutama oleh agama baru), namun pengaruhnya masih sulit ditundukkan oleh orang Nias. Motifnya yang mulai bergeser, dari memenggal kepala berubah menjadi menusuk korbannya. Bayang-bayang emali (pemburu kepala) di masa lalu juga masih menghantui kehidupan kebanyakan orang Nias saat ini. Anak-anak kecil selalu dilarang bermain pada saat hari menjelang malam untuk menghindari emali. Hal ini juga bisa dilihat dari cara para lelaki dewasa di Nias ketika akan berpergian pada malam hari. Mereka selalu membawa senjata tajam untuk jaga diri. Jika pemenggalan kepala dalam tradisi mangani binu biasanya dilakukan oleh emali untuk bekal kubur, mas kawin, membangun rumah, dan alasan peperangan, pemenggalan kepala saat ini lebih banyak disebabkan oleh pertikaian dalam mempertahankan harga diri. Sebagai penutup, sebuah kesaksian yang disampaikan oleh Sonjaya ketika melakukan penelitian di Nias cukup menarik untuk diketahui. Bukti bahwa pengaruh mangani binu belum hilang sepenuhnya dari kehidupan masyarakat Nias –hanya mengalami transformasi motif dan bentuknya saja. “Hanya dalam dua tahun terakhir di kawasan Gomo telah terjadi 12 kali pembunuhan. Dalam minggu pertama di Börönadu, saya mendengar ada pemenggalan kepala di desa tetangga hanya gara-gara memperebutkan pohon rambutan. Setelah mencoba menggali informasi mengenai kejadian itu, ternyata pembunuhan itu lebih berlatar belakang perebutan harga diri ketimbang pohon rambutan itu sendiri. Dua tahun setelah kejadian itu saya kembali berkunjung ke Börönadu. Dua hari sebelum kedatangan saya, di Desa Umbunase, tidak jauh dari Börönadu, terjadi lagi pembunuhan. Korbannya mengalami 11 tusukan dan kepalanya dibelah. Motifnya belum diketahui, yang pasti bukan perampokan karena sejumlah uang disaku korban tidak hilang. Orang-orang di Desa Hiliana‘a berseloroh bahwa motifnya hanya sekedar persaingan olah raga untuk menunjukkan siapa yang paling kuat satu sama lain.” (Sonjaya, 2008: 71-72). Daftar Pustaka * Deschamps, J.C., 1982, “Social Identity and Relations of Power Between Groups”, in Henry Tajfel (ed.), Social Identity and Intergroup Relations, Cambridge University Press. * Hammerle, J., 2001, Asal-Usul Manusia Nias, Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias. * Hammerle, J., 2007, “Nias: Antara Budaya Batu dan Ono Niha”, National Geographic Indonesia, Edisi Juni 2007. Didownload dari http://unesdoc.unesco.org/images/0015/001542/154286ind.pdf pada tanggal 29 Juni pukul 20.15 WIB. * Julianery, 2006, Kabupaten Nias, Artikel Kompas Edisi 06 April 2006. * Koestoro, L.P., Wiradnyana, K., 2007, Megalithic Tradition in Nias Island, Medan: Medan Archeological Office. Didownload dari http://unesdoc.unesco.org/images/0015/001517/151795eo.pdf pada tanggal 29 Juni 2008 pukul 22.30.WIB. * Masashi, Hirosue, 2005, “European Travelers and Local Informants in the Making of the Image of “Cannibalism” in North Sumatra”, The Memoirs of the Toyo Bunko 63 (41-64), Didownload dari http://www2.toyo-bunko.or.jp/zenbun/memoirs63/m_03.pdf pada tanggal 11 Juli 2008 jam 21.00 WIB. * Nata‘alui Duha, 2008, Sowanua dan Nadaoya Manusia Pertama Penghuni Pulau Nias? Didownload dari http://mediawarisan.wordpress.com/2007/08/02/sowanua-dan-nadaoya-manusia-pertama-penghuni-pulau-nias/ pada tanggal 30 Juni 2008 pukul 23.00 WIB. * Reuter, T.A., 2005, Custodians of the Sacred Mountains: Budaya dan Masyarakat di Pegunungan Bali, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. * Sonjaya, J.A., 2008, Melacak Batu, Menguak Mitos: Petualangan Antarbudaya di Nias, Yogyakarta: Impuls dan Kanisius, * Wiradnya, K., 2006, Orang Nias, Tahun 1150 Masih Tinggal di Dalam Gua, Harian SIB Edisi Minggu, 14 Mei 2006. Didownload dari http://niasonline.net/2007/03/12/orang-nias-tahun-1150-masehi-masih-hidup-di-dalam-gua/ pada tanggal 27 Juni 2008 pukul 22.12 WIB. * Wiradnyana, K., 2008, Peralatan Berbahan Cangkang Moluska dari Gua Togi Ndrawa, Nias, Medan: Balai Arkeologi Medan. Didownload dari http://balarmedan.wordpress.com/category/drsketut-wiradnyana/ pada tanggal 27 Juni 2008 pukul 21.13 WIB. * Yuanzhi, K., 2005, Silang Budaya Tiongkok–Indonesia, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer. * Zebua, V., 2008, Kisah Awuwukha Pemburu Kepala. Pramudianto DALAM mitologi Nias yang termaktub dalam buku Asal-usul Masyarakat Nias, P Johannes OFMCap menulis, alam dan seluruh isinya diciptakan oleh Lowalangi. Selesai menciptakan semuanya, beliau menciptakan satu pohon kehidupan yang disebut Tora’a. Pohon itu dierami seekor laba-laba emas. Menetaslah sepasang dewa pertama di alam semesta bernama Tuha Mora’a Angi Tuha Mora’a Ana’a (laki-laki) dan Burutirao Angi Burutirao Ana’a (perempuan). SALAH satu keturunan pasangan dewa pertama ini bernama Sirao, kemudian menjadi raja langit pertama, yang terletak paling dekat dengan bumi. Langit lapisan pertama disebut Teteholi Ana’a. Sirao punya tiga istri. Dari masing-masing istri diperoleh tiga anak laki-laki. Ketika Sirao lanjut usia dan hendak mengundurkan diri dari pemerintahan, beliau mengadakan lomba ketangkasan menari di atas tombak mata sembilan yang dipancangkan di suatu lapangan di depan istana. Perlombaan itu dimenangi oleh putra paling bungsu bernama Luo Mewöna. Putra bungsu inilah yang paling dikasihi Sirao dan rakyatnya sebab dia memiliki sifat rendah hati dan bijaksana. Gagah perkasa pula. Supaya kedelapan putranya yang lain tenteram, Sirao mengizinkan mereka turun ke Tanö Niha-berarti “tanah manusia”-yang merupakan nama asli Pulau Nias. Dari delapan putra Sirao yang diturunkan, empat orang selamat dan merekalah yang menjadi leluhur marga-marga orang Nias zaman sekarang. Mereka adalah: * Hiawalangi Sinada (Hia) menjadi leluhur marga Laia,Telaumbanua,Gulö,Mendröfa, dll. * Gözö Hela-hela Danö (Gözö) menjadi leluhur marga Baeha. * Daeli Bagambolangi (Daeli) menjadi leluhur marga Gea, Daeli, Larosa, dan lain-lain. * Hulubörödanö (Hulu) menjadi leluhur Ndruru, Bu’ulölö, Hulu, dan lain-lain. Putra sulung Luo Mewöna menjadi leluhur Zebua, Bawö, Zega, dan lain-lain. Putra Sirao yang empat lagi tidak beruntung karena mengalami kecelakaan. Salah satu bernama Latura Danö yang karena terlalu berat tubuhnya sewaktu diturunkan, terus menembus bumi dan menjelma menjadi ular besar. Dialah yang menjadi penadah bumi. Jika timbul perang dan ada darah manusia yang merembes ke dalam tanah hingga mengenai tubuhnya, maka ia sangat marah dan menggoyang-goyangkan tubuhnya hingga terjadi gempa bumi. Untuk menghentikan gempa itu, orang Nias berseru, “Biha Tuha! Biha Tuha!” Artinya: “Sudah Nenek! Sudah Nenek!” Ucapan itu diserukan sebagai tanda insaf dan tidak membunuh lagi. Jumat 25 Maret, umat Kristen menghayati kembali penderitaan Yesus Kristus. Penderitaan itu dirasakan oleh para pengikutnya yang secara khusus nyata dalam diri para perempuan yang melambangkan aras ketidakberdayaan atau kelemahan dan oleh Simon dari Kirene sebagai lambang keterpaksaan, dipaksa menderita dan bersama. Tema Jumat Agung yang kami pilih adalah “Mengapa Ia Mati?” Pertanyaan ini tidak lagi muncul dalam diri orang Kristen karena penderitaan dan kematian Yesus Kristus dianggap biasa dan sudah dihafal. Namun, saat ini penderitaan dan kematian Yesus Kristus hadir di depan mata melalui penderitaan saudara-saudara kita di Nias dan sekitarnya yang mengalami gempa kembali pada hari Senin, 28 Maret, berskala 8,7 skala Richter yang mengakibatkan korban jiwa dan materi. Menurut catatan, sejak tahun 1840 sampai 2004 sudah lima kali gempa dan tsunami melanda Nias dengan kekuatan di atas 8 pada skala Richter: • Maret 1843 di bagian utara dan timur Nias. Desa Miga dan Lambaru rusak total. • 10 Februari 1861 di Nias Selatan, khusunya daerah Lagundri. Benteng dan tangsi Belanda hancur dan banyak tentara hilang. • 4 Januari 1907 di Pulau Wunga. Desa Afulu dan Tamula tergenang air dan diperkirakan 200 orang meninggal dunia. • Juli 2001, banjir melanda Nias di daerah Lahusa dan Gomo. • 26 Desember 2004 mengakibatkan korban ratusan jiwa di daerah Mandrehe dan Sirombu. Sebagian kecil di Afulu, Lahewa, Teluk Dalam, dan pulau-pulau batu. • 28 Maret 2005 mengakibatkan kehancuran total di Gunung Sitoli dan sekitarnya serta Telukdalam dan sekitarnya. Gambaran kemarahan Ular Besar (Latura Danö) akibat darah yang mengenai tubuhnya karena ada peperangan tidak sekadar kita pahami sebagai darah yang sungguh-sungguh menetes dari tubuh manusia. Darah tercurah sebagai simbol penderitaan umat manusia akibat angkara murka manusia itu sendiri. Ketika kami, tim dari Sirao Credentia Center, mengadakan penataran 200 pamong praja dan 200 pendeta se-Nias di Gunung Sitoli pada 14-15 Maret 2005 dalam rangka pemulihan dan pemberdayaan Nias, salah satu narasumber, Prof Dr Taliziduhu Ndraha, yang adalah putra Nias dan kybernolog, bertanya kepada peserta, “Masihkah di antara kita ada 10 orang saja yang benar? Jika ada, maka Nias akan menjadi negeri yang berdaya.” Pertanyaan ini amat tajam dan menusuk. Mungkin tidak akan terucap olehnya jika ia bukan orang Nias. Peperangan sedang terjadi dalam diri orang Nias secara menyeluruh. Darah telah mengucur begitu deras. Sang Naga begitu merasakan tetesan darah itu dan marah. Dari reinterpretasi mitos ini dan penderitaan Yesus Kristus, tentu ada yang bisa kita lakukan supaya terjadi pemulihan dalam kehidupan kita sebagai sesama ciptaan Tuhan. Pemulihan terjadi dengan suatu prasyarat. Yang mengalami penderitaan harus mampu mengakui kelemahannya dan membutuhkan pertolongan pihak lain, kesediaan diri untuk ditolong dan berbalik arah (metanoia), berjalan terus (pergi memberitahukan yang lain) mengingatkan kepada kita ketika Maria Magdalena bertemu dengan Yesus Kristus yang sudah bangkit itu. Dari kita dibutuhkan paksaan oleh pihak lain untuk ikut mengangkat penderitaan sesama seperti Simon dari Kirene. Ini juga berlaku pada pemerintah dan media massa yang dipaksa untuk memberitakan Nias, bukan lagi Sumatera Utara. Itulah Nias yang miskin, kecil, tertinggal, terisolasi, menderita, dan jauh di hati. Juga dari kita diperlukan keyakinan dan doa karena melalui itu, orang lain menjadi peduli atas kegelisahan dan kekhawatiran kita. Perempuan sebagai simbol kelemahan, ketertindasan, dan ketidakberdayaan tentu mampu membangun sikap solidaritas antarsesama. Membangun riak- riak kecil dalam hati untuk tergugah dan beraksi bagi sesama. Saatnya kita berseru: “Biha Tuha! Biha Tuha!” Pramudianto Pendeta, Pendiri Sirao Credentia Center, Tim Pemulihan dan Pemberdayaan Nias Making the family as a cultural force prosperous and harmonious