Pages

Senin, Maret 23, 2009

Catatan Zatuama SNK TR. Laia (74th)

CATATAN: SILSILAH DAN SEJARAH KEHIDUPAN SERTA PEKERJAAN DAN PENGALAMAN
an. Taorani Laia / Ama Heza (25-11-1930 - 14-9-2004)
Pengantar:
Berdasarkan bunyi Alkitab mengatakan: "MASA HIDUP KAMI 70 TAHUN DAN JIKA KAMI KUAT 80 TAHUN (Mazmur 90:10a) Ayat 12 : "Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian hingga kami beroleh hati yang bijaksana".

Sesuai dengan catatan ini hanya tertunjuk pada seorang keturunan sebagai riwayat kehidupannya yang menjadi pedoman untuk mengenal satu sama lain yang termasuk lingkungan keluarga supaya tetap dalam kerukunan hidup berkeluarga. Dan mengenal kaitan keluarga-keluarga yang erat hubungannya dalam silsilah dari atas sampai keturunan berikutnya.

Untuk diketahui maksud dan tujuan catatan ini yaitu sebagai petunjuk yang dapat diingat pada masa-masa mendatang sebagai bahan pertimbangan dalam duka dan suka.

Catatan ini dimulai dengan sebagian silsilah perpisahan dari Banua Hilisatarö ke Bawöza'ua nama desa sekarang.

Menurut ceritera nama desa sebelum ini yaitu: Desa yang terletak diatas gunung sebelah utara desa sekarang diberi nama Hiliamaigila. Karena pertapakan rumah disana maka Kepala/ Pimpinan desa tersebut ada dua orang kakak-beradik yang dapat memimpin rakyat mereka dengan bijaksana menghimpun suatu keputusan bersama untuk mencapai kesepakatan dan sepakat mencari tempat perumahan di seberang sungai Gewa yang diberi nama Hiliwaösitanö.
Sebagai titik tolak untuk melebarkan tanah perkebunan rakyat maka Si'ulu pemimpin Hiliwaösitanö pergi mencari tanah yang dapat dijadikan tempat perumahan rakyatnya sambil berburu telah sampai ditepi sungai Sa'ua sungai yang agak besar dari sungai Gewa. Dan melihat tanahnya yang subur dan lebar tidak seorang pun duluan mengolah tanah itu maka ia mengutarakan hal itu kepada adiknya Si'ulu/pemimpin yang tinggal di desa Hiliamaigila bahwa mereka pindah pada tanah yang baru didapat katanya: Biarlah adik serta rakyat kita pengikutmu tinggal memiliki tanah ini serta tanah perkebunan yang ada dan kami keluarga Hiliwaösitanö memiliki sungai Sa'ua serta tanah perkebunan disana timbal balik sungai.
Maka yang sulung serta panglima-panglimanya serta keluarga rakyatnya pindah dan membuat perkampungan di Batu'atöla yang diberi nama Bawöza'ua dan setelah lama kemudian pindah lagi perkampungan disebelah utara di tepi sungai Sa'ua diberi nama Hiliduha pada perkampungan tersebut walau hanya rakyat-rakyat itu saja yang terdaftar dalam register pemerintah tetap disebut Bawöza'ua sebagai kenangan. Untuk itu mulai zaman dahulu sampai sekarang selalu disebut Hilisatarö - Bawöza'ua/ Hiliduha hanya satu Banua karena perpisahan tempat itu terlaksana dengan baik bukan disebabkan kekeliruan. Hiliamaigila juga memilih tanah datar disebelah sungai Gewa yaitu diberi nama Hilisatarö sampai sekarang.

Map of Von Rosenberg 1857: Bawösatarö (Hilisatarö) dan Hiliduha (Bawöza'ua) mengapit sungai Sa'ua
         
Untuk dapat dimengerti sebagaimana apa yang dimaksud salah seorang dari panglima tersebut yang ikut pindah ke Bawöza'ua yaitu bernama Tuha Harimao/ Harimaoduha itulah yang dapat dimulai pada silsilah ini sbb.:

Tuha Harimao/ Harimaoduha beranak dua orang laki-laki yaitu:
Fondrege Harimao yang sulung dan
Sanaya Tuha anak bungsu.

Fondrege Harimao memperanakan 4 orang laki-laki yaitu:
1. Bawö Harimao/ Silaötambali
2. Kalitö,
3. Kanola,
4. Wa'aniwa.

Keturunan Sanaya Tuha hanya seorang laki-laki bernama Tambali Duha.

Keturunan Bawö Harimao/ Silaötambali 4 laki-laki seorang perempuan:
1. Rafözabe'e (ke Pulau Tello),
2. Nawö / Namö Gowasa II
3. Zindroi,
4. La'imbaza'ua,
5. Dawe(pr)

Keturunan Tambali Duha 3 orang: Falagönahönö, laki-laki
Tanömögere ina nama Na'auri,
Nenegere sowatö ba Mbawödobara.

Pada jajaran itu hanya sampai disini terdapat pada catatan ini sebagai petunjuk mengenal turunan yang bertalian keluarga lain dan dari keturunan ini terdapat seorang yang beranak laki-laki yaitu bernama Nawö, lain-lainnya hanya keturunan perempuan.

NAWÖ Namö Gowasa adalah anak nomor dua kelahiran dari Bawö Harimao ia ini tidak lama hidup lalu meninggal dunia dan meninggalkan seorang isteri dan seorang anak laki-laki bernama Hatazaro. pada umur kurang lebih 1,5 tahun.

Setelah lama kemudian janda almarhum Nawö nikah lagi kepada Siwazumikhi di Hilisatarö dan ikut membawa anak tunggalnya laki-laki Hatazaro pada umur kira-kira 5 tahun disanalah ia dibesarkan oleh ibunya dengan bantuan hasil buah kelapa dari Bawöza'ua yang diwarisi dari hak milik orangtuanya.
Pernikahan ibunya kepada Siwazumikhi melahirkan seorang anak perempuan bernama Simeja ina Matia Sarumaha.
Karena Siwazumikhi tidak mempunyai anak laki-laki hanya perempuan seorang bernama Sombuyu ina Boiorikhou, Fanaro, Sikisa, Sikune. Oleh sebab itu untuk memikat hati Hatazaro tetap disisinya sebagai anak kandung ditambah lagi sebagai tanda kuasa dalam memegang harta milik Hatazaro emas dan kebon kelapa yang menjadi baik ekonominya sampai Siwazumikhi membuat fa'ulu momboi ana'a ba mbagi selama pernikahannya dengan ibu dari Bawöza'ua ini. Sebagai tanda untuk mengakui pengangkatan anak laki-laki bernama Hatazaro membuat pesta dan mengundang Si'ulu-Si'ila dan semua famili di desa untuk mensyahkan menjadi anaknya laki-laki yang bernama Hatazaro. Dan mulai saat itu Siwazumikhi memberi wewenang kepada Hatazaro untuk mengurus, memelihara dan melindungi anak-anaknya dan anak keluarganya yang lain serta wewenang pembagian harta kepada saudara-saudaranya walau hanya perempuan.

Dalam menerima kuasa itu dari Bapak angkatnya Hatazaro menerima dengan senang hati sehingga Bapak angkatnya meninggal dunia tidak pernah mengeluh.

Dalam melaksanakan pembagian harta kekayaan almarhum Siwazumikhi baik harta emas dan harta perkebunan Hatazaro sebagai anak angkat ia membagikan dengan adil semua kepada saudaranya Sombuyu dan Simeza walaupun berhak menerima warisan tersebut dan ia menyadari bahwa kekayaan warisan dari orangtuanya sendiri baik emas dan beberapa bidang kebun kelapa dan tanah perkebunan lebih dari cukup untuk dimiliki karena semua harta warisan nenek tuanya hanya ia yang berhak mewarisi. Sebagai tanda ketulusan hatinya ia menerima tanah pertapakan Gereja BNKP jemaat Hilisatarö sekarang.

Oleh sebab kejadian ini Almarhum Hata Laia dibesarkan oleh ibunya di Hilisatarö sampai dewasa dan kawin nikah dengan Ulimbowo dan melahirkan anak laki-laki 5 orang yaitu masing-masing bernama:

1. Tahonogö Laia beranakan: alm.Sudi'eli, Suriyani, Fanohugö, Admiral, Serius, Yatilina, Harmonis dan Joni.

2. Taorani Laia beranakan: Huku Aro, Musawarah, Peringatan, Gabriel, Okuliziduhu,
Pertalikan, Mikaryawati, Junikaryamawar dan Ferry Srisiwanti.

3. Ta'osigö Laia beranakan: Fatilia, Waspada, Setiawan, Fatimani, Fatilinda, Gairah.

4. Ta'osisi Laia beranakan: Esima, Yatimani, Emanuel, Nafiri, Gelora, Peringatan, Pikiran, Darius dan Ros

5. Söchi Aro Laia mengangkat anaknya Sukadamai (anak yang lahir dari Ta'osigö)

Kelima orang laki-laki ini tidak mempunyai saudara perempuan.

Dari seorang bersaudara ini tertunjuk pada anak nomor dua yaitu bernama Taorani Laia sebagaimana sejarah/ riwayat hidupnya adalah sbb.:

SEJARAH/ RIWAYAT HIDUP:

TAORANI LAIA Ayah dari sembilan orang yang telah tercatat diatas yaitu:
Lahir di Hilinamöza'ua tanggal 25 November 1930 pada masa Ayah bertugas sebagai Guru Jemaat BNKP filial Hilinamöza'ua. Kira-kira satu bulan setelah lahir Ayah pindah di La'owi kecamatan Lahusa. Kira-kira berumur satu tahun kembali dipindahkan di Hilisatarö. Disanalah dibesarkan sampai masuk Sekolah Dasar pada masa Zending Misi dari Germany yang bernama Desa Skhol 3 tahun, tanggal 5 Agustus 1937 tammat pada tanggal 2 Agustus 1942 menerima Surat Tamat Belajar.

Pada tahun itu juga pemerintah Belanda berakhir, tibalah tentara Jepang dengan nama Pemerintahannya Dai Nippon. Dan berakhirlah juga jaman keemasan bagi orang yang termasuk pegawai-pegawai agama dan lebih-lebih masyarakat biasa untuk merasai kesulitan baik makanan dan pakaian karena kejahatan pemerintah Dai Nippon. Dan bersambung lagi setelah Jepang setelah kemerdekaan Indonesia di Proklamasikan beberapa tahun lagi masa agresi Belanda bertambah melaratlah kehidupan rakyat.

Pada tahun-tahun itu Ayah sembilan orang tersebut turut merasakan kesulitan. Setelah dewasa kawin dengan nikah pertama pada tahun 1949. Karena belum lancar mendapat beras untuk melawan arus kesulitan tersebut lahir anak pertama yang bernama Hezaro anak laki-laki dan mulai membanting tulang untuk membeli beras di kecaatan Gomo jauh dari kampung Hilisatarö 44 Km, dengan cara ganti barang garam ditukar dengan beras, saat itu belum ada sepeda jadi pulang pergi harus dipikul dengan berjalan kaki, memang sangat melelahkan hanya saja terhibur karena mendapat makan nasi, yang belum banyak orang lain mendapat cara seperti ini.

Tidak lama berlangsung kesulitan tersebut mulai tahun 1953 berganti pekerjaan yaitu menjahit pakaian di kota Kecamatan Telukdalam setiap hari Sabtu kembali dirumah di Hilisatarö dengan jalan kaki 12 Km dilalui. Antara tahun-tahun itu selalu ganti berganti usaha kecil 2 tahun tukang jahit pakaian, bengkel sepeda 2 tahun, menggalas kopra dua tahun. Pada tahun 1962 diangkat menjadi Satua Niha Keriso.
Perkawinan pertama itu lahirlah anak laki-laki dan perempuan 7 orang dan pada bulan Februari 1965 Ibu pertama meninggal dunia, diantara ketujuh orang anak tersebut tinggal 4 orang anak yang hidup, tiga laki-laki dan seorang perempuan.

Pada tanggal 13 Oktober 1965 kawin lagi yang bernama Sitimanis Lo'i. Pada Tgl 27 Oktober 1966 lahir anak laki-laki yang bernama Gabriel Laia, anak pertama dari ibunya.

Pada tanggal 1 September 1967 diangkat menjadi Pegawai Negeri pada jabatan Guru Agama Kristen Protestan di SDN No. 071098 Telukdalam II Kec. Telukdalam, dengan pangkat BB/II = I/a.

Pada tgl 1 Juli 1973 diangkat menjadi Penilik Pendidikan Agama (K)pr Protestan Kec. Lahusa dan Kec. Gomo pada masa Dinas Agama Kristen, lima tahun kemudian karena Pembentuk Departemen Agama semua pegawai dinas Agama bergabung satu Departemen, Ayah memilih menjabat kembali sebagai Guru Agama di SDN No.071097 Telukdalam I sampai....





(Catatan diatas ditulis sebagaimana aslinya, dan ditunjukan hanya untuk kami anak-anaknya. Ayah kami dipanggil oleh Bapa di surga pada Usia 74 tahun pada tanggal 14 September 2004)


Making the family as a cultural force prosperous and harmonious




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar !