Pages

Jumat, Maret 27, 2009

Mohon Ampun, Alangkah Sulitnya

Mohon Ampun, Alangkah Sulitnya

Karena itu, kata Yesus, berdoalah demikian, ”AMPUNILAH KAMI AKAN KESALAHAN KAMI, SEPERTI KAMI JUGA MENGAMPUNI ORANG YANG BERSALAH KEPADA KAMI” (Matius 6:12).
Tegas, ringkas, jelas. Tak ada kesulitan sedikit pun memahami maksud dan makna doa ini, begitu pikir kita. Kita tinggal melaksanakannya saja. Di sini baru ada persoalan: di tingkat pelaksanaannya.

Tapi benarkah demikian? Ternyata tidak! Doa ini tidak semudah yang kita sangka. Padahal kita harus memahami maknanya dengan benar terlebih dahulu, baru kita bisa berbicara soal pelaksanaannya. Bila pemahamannya saja sudah salah, bagaimana mungkin melaksanakannya dengan benar, bukan?

”AMPUNILAH KAMI AKAN KESALAHAN KAMI”. Di mana sih letak kesulitannya? Sepintas lalu sih kelihatannya tak ada masalah. Siapa yang tak pernah melakukan kesalahan? ”To err is human”, artinya, ”Melakukan kesalahan itu manusiawi”. Sebab itu, minta ampun? Atau lebih tepat, minta maaf? No problem-lah!

Namun begitu, sebenarnya ada persoalan besar di sini. Persoalan besar itu adalah pada kata ”kesalahan” yang digunakan.. Terjemahan ini belum mampu mengekspresikan seluruh kekayaan nuansa yang ada pada bahasa aslinya.

Dalam terjemahan bahasa Inggris, persoalannya lebih kelihatan. Yaitu, ketika kita mendapati terjemahan yang amat bervariasi. Ada yang menerjemahkan ”kesalahan” dengan ”utang” (”Forgive us our debts”). Ada yang menerjemahkannya dengan ”pelanggaran” (”Forgive us our tresspasses”). Lukas bahkan menggunakan kata yang sama sekali lain, yaitu: ”dosa” (Lukas 11:4) ”Ampunilah kami akan dosa kami”.

ANDA tahu kan apa bedanya ”kesalahan” dan ”dosa”? Secara sederhana dapat dijelaskan demikian. ”Kesalahan” yang dibuat oleh manusia, pada dasarnya juga dapat diperbaiki atau dikoreksi oleh manusia. Orang bisa ”salah jalan”, ”salah hitung”, ”salah sangka”, atau ”salah pilih”.
Berbeda dengan ”dosa”. Di sini, manusia tidak dapat memperbaiki atau menghapuskan ”dosa” yang ia lakukan. Sebab ”dosa” tidak dapat dikoreksi oleh manusia. ”Dosa” hanya dapat diampuni oleh Tuhan. Kita minta ”maaf” kepada sesama kita atas ”kesalahan-kesalahan” kita, tetapi mohon ”ampun” kepada Tuhan atas ”dosa-dosa” kita. Jelas?

Jadi, sekali lagi, di mana kesulitannya? Jawab saya: karena minta ampun itu, secara langsung atau tidak, berarti mengaku dosa. Ini sesuatu yang serius. Mengakui bahwa kita sering melakukan ”kesalahan” adalah satu soal, tetapi mengakui bahwa kita berbuat ”dosa” adalah soal yang sama sekali lain.
Saya toh tidak pernah membunuh atau berzinah atau mencuri atau murtad dari agama! Karena itu, Bambang Sudjatmiko, misalnya, dengan tegas menolak minta grasi.
”Saya tidak bersalah. Pemerintahlah yang mesti minta ampun kepada saya, bukan sebaliknya!”, katanya. Dan saya tegaskan di sini, bahwa yang dimaksudkan oleh Yesus dalam doa-Nya adalah ”dosa”, bukan sekadar ”kesalahan”!

”AMPUNILAH kami akan kesalahan kami”. Kata ”kesalahan” di sini adalah terjemahan kata ”opheilamata” (= bentuk jamak dari ”opheilema”) dalam bahasa Yunani. Dalam konteks aslinya, ”opheilema” mencakup pengertian yang luas sekali.
Namun intinya satu saja, yaitu ia menunjuk kepada sesuatu yang dipinjam; sesuatu yang sebenarnya adalah hak atau milik orang lain; sesuatu yang karenanya adalah tugas serta kewajiban kita untuk membayar atau melaksanakannya.
Dengan perkataan lain, ”opheilema” adalah ”utang” dalam pengertian yang seluas-luasnya. Dari bentuknya yang paling sempit yaitu utang uang, sampai kepada yang paling luas, yaitu kewajiban moral atau agama. Balas budi atas kebaikan sesama, menurut Thucydides, dan berbakti kepada orang tua, menurut Plato, adalah termasuk ”utang” yang harus kita bayar itu – sebuah ”opheilema”.
Dengan demikian, doa Yesus dapat kita kalimatkan ulang menjadi, ”Ampunilah kami atas setiap kegagalan kami dalam melaksanakan kewajiban kami; dan atas setiap utang yang belum berhasil kami lunasi; baik kepada Tuhan maupun kepada sesama kami”.
Lukas, seperti telah saya sebutkan, memakai kata ”dosa”, yang bahasa Yunani-nya adalah ”hamartia”. Arti asli kata ini, adalah: ”meleset” atau ”melenceng”. Seperti anak panah, atau peluru pistol, atau bola, yang gagal mengenai sasaran.
”Dosa” adalah itu: melenceng atau menyeleweng dari arah yang seharusnya. Kegagalan untuk menjadi atau melakukan apa yang seharusnya. ”Opheilema” dan ”hamartia” adalah dua kata yang berbeda. Tapi dalam makna, dekat sekali, bukan?

SEDANG mengenai mengapa kedua penginjil itu memakai dua kata yang berbeda untuk sebuah doa yang sama, sebabnya adalah karena Yesus mengajar dengan bahasa Aram. Ketika Matius dan Lukas menerjemahkannya ke dalam bahasa Yunani itulah, yang satu menerjemahkannya begitu, sedang yang lain menerjemahkannya begini.
Di dalam bahasa Aram, kata yang dipakai oleh Yesus (kemungkinan besar) adalah choba’. Inilah kata yang paling umum dipakai untuk ”dosa”.
Bagi orang Yahudi, ”dosa” atau choba’ adalah kegagalan untuk taat sepenuhnya kepada Allah. Padahal, menurut agama Yahudi, ketaatan kepada Allah inilah kewajiban paling utama.
Mereka hanya boleh taat kepada Allah saja, dan tidak kepada yang lain. Tapi sayang, orang selalu cenderung berbagi kesetiaan. Loyalitasnya ganda. Dengan demikian, ia ber”utang” ketaatan kepada Allah. Artinya, tidak melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Jadi, tidak ada perbedaan mendasar antara Matius dan Lukas, bukan?

SETELAH semua tadi jelas, kini kita dapat masuk lebih jauh ke dalam doa itu sendiri. Untuk mengerti dengan benar, pertama-tama perlulah kita membaca doa Yesus ini dengan cermat. Perhatikanlah, di situ Yesus tidak mengatakan, ”Ampunilah kami sekiranya kami melakukan kesalahan”. Tidak! Doa ini tidak dimaksudkan hanya sebagai doa ”orang-orang berdosa”!
Doa ini diajarkan oleh Yesus agar menjadi doa setiap orang; doa semua orang; doa Anda dan doa saya, tanpa kecuali. Karenanya, ia berbunyi: ”Ampunilah kami akan kesalahan kami”. Siapa pun perlu meminta ampun untuk kesalahan-kesalahannya, untuk utang-utangnya, untuk dosa-dosanya. Tak ada yang tidak.
Jadi melalui doa ini, Yesus menegaskan kembali mengenai ”universalitas dosa”. Bahwa dosa itu bersifat universal.
Artinya, setiap orang dan semua orang tanpa kecuali, seperti kata Martin Luther, ”nyaris kelelap di negeri utang, di mana permukaan dosa hampir mencapai telinga”.
Karena itu, sekali lagi, setiap orang perlu minta ampun. Implikasinya, setiap orang mesti terlebih dahulu menyadari dan mengakui, bahwa ia adalah seorang pendosa.
Ini sama sekali tidak mudah. Pengakuan itu menuntut kerendahan hati sekaligus keberanian yang luar biasa.
Keberanian si Anak Hilang yang bersedia mengakui dosa-dosanya, dan kemudian mengambil langkah putar, kembali ke rumah bapa. Akuilah, saudara, tidak semua orang memiliki kerendahan hati serta keberanian seperti itu! Banyak yang memilih kelelap di pusaran dosanya, ketimbang mengambil risiko ketahuan ”belang” atau ”wirang”nya.

TAPI Alkitab tak pernah malu-malu, malah sebaliknya dengan penuh simpati, menulis betapa tokoh-tokoh besarnya adalah orang-orang yang berdosa; orang-orang yang bersedia mengakui dosa-dosa mereka. ”Tuhan, pergilah dari padaku,” pinta Petrus, ”karena aku ini seorang berdosa” (Lukas 5:8). ”Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa. Dan di antara mereka, akulah yang paling berdosa”, demikian Paulus (1 Timotius 1:15).
”Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri, dan kebenaran tidak ada di dalam kita”, tegas Yohanes (1 Yohanes 1:8).
Di sisi lain, dengan gemas Alkitab menampilkan sisi suram dari orang-orang yang justru membanggakan ke”bersih”an jiwa dan kehebatan tingkah laku mereka. Misalnya doa orang Farisi yang memuakkan ini, ”Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan permampok, bukan orang lalim, bukan pezinah, dan bukan juga seperti pemungut cukai ini …” (Lukas 18:11).
Atau pernyataan si Orang Muda, yang dengan tanpa rasa risih membanggakan suksesnya sebagai orang beragama, ”Semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku” (Lukas 18:21). Manusia boleh berdecah kagum, namun Allah membenci kesombongan rohani seperti itu.

Pengakuan akan universalitas dosa ini amat penting. Pertama—dalam rangka kehidupan pribadi orang per orang—, ia mendorong setiap orang untuk setiap kali dengan jujur mengintrospeksi diri. Setiap setiap orang didorong menyempurnakan diri setiap hari. Ini tentu amat besar pengaruhnya terhadap meningkatnya kualitas hidup.
Tapi yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa—bagi ketenteraman kehidupan bersama—universalitas dosa menegaskan pentingnya tingkah-laku setiap orang itu diawasi, khususnya mereka yang berkuasa.
Mengapa? Karena semua orang memiliki kecenderungan berbuat dosa, termasuk para penguasa. Bahkan lebih dari itu, semakin tinggi kekuasaan, semakin besar pula kemungkinan penyalah-gunaan kekuasaan, serta semakin hebat bencana yang diakibatkannya.
Inilah salah satu inti demokrasi. Kekuasaan mesti dibagi dan diawasi.
Oleh Eka Darmaputera


Making the family as a cultural force prosperous and harmonious

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar !