Pages

Senin, Juni 08, 2009

Asal Usul Leluhur Ono Niha - Nias






A. Asal-Usul Nias adalah gugusan pulau yang jumlahnya mencapai 132 pulau, membujur di lepas pantai barat Sumatra menghadap Samudra Hindia. Tidak semua pulau-pulau tersebut berpenghuni. Hanya ada sekitar lima pulau besar yang dihuni oleh manusia, yaitu Pulau Nias (9.550 km²), Pulau Tanah Bala (39,67 km²), Pulau Tanah Masa (32,16 km²), Pulau Tello (18 km²), dan Pulau Pini (24,36 km²). Di antara kelima pulau tersebut, Pulau Niaslah yang berpenghuni paling padat, dan menjadi pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan (Koestoro, Wiradnyana, 2007). Pulau yang terkenal dengan budaya megalitiknya ini menyimpan beberapa misteri dan keunikan. Termasuk mengenai asal-usul leluhur orang Nias saat ini. Para penghuni pulau ini menyebut dirinya sebagai ono niha (orang Nias) yang diyakini oleh sebagian ahli antropologi dan arkeologi sebagai salah satu puak-puak tertua di Nusantara. Ada beberapa versi mengenai siapa sebenarnya leluhur orang Nias saat ini, baik yang bersumber dari hoho (cerita lisan yang berkembang di masyarakat Nias dan diwariskan secara turun-temurun sehingga menyerupai mitos), maupun data-data ilmiah temuan para arkeolog. Hoho yang berkembang di Nias menyebutkan bahwa manusia pertama yang tinggal di Nias adalah sowanua atau ono mbela. Ono mbela merupakan keturunan penguasa kayangan, Ibu Sirici, yang memerintahkan keenam anaknya untuk turun ke bumi menggunakan liana lagara, sejenis tumbuhan yang biasanya merambat di pohon. Karena liana lagara yang digunakan telah rapuh, sebagian di antara mereka ada yang jatuh ke bumi dan sebagian yang lain memilih tinggal di atas pohon. Anak turun Ibu Sirici yang memilih tinggal di atas pohon inilah yang kemudian disebut sebagai sowanua atau ono mbela (manusia pohon). Ono mbela dikenal memiliki kulit yang putih dan berparas cantik ((Hammerle, 2007). Ciri-ciri fisik tersebut mengundang para peneliti untuk membuat sebuah interpretasi bahwa ono mbela berjenis kelamin perempuan. Lantas ke mana perginya anak turun Ibu Sirici yang jatuh ke tanah? Menurut sebuah versi hoho yang lain, mereka kemudian menyelamatkan diri dengan mencari perlindungan di gua-gua. Mereka tidak lagi disebut sebagai ono mbela tetapi nadaoya atau manusia yang menghuhi gua. Secara fisik keduanya berbeda. Jika ono mbela dikenal memiliki kulit putih dan berparas cantik, maka nadaoya dikenal memiliki kepala dan tubuh yang lebih besar dengan kulit berwarna gelap. Besar kemungkinan keduanya sudah tergolong bangsa manusia, namun berasal dari ras yang berbeda, bukan satu keturunan. Lantaran keterbatasan pengetahuan yang dimiliki penduduk Nias waktu itu, juga tata cara hidup yang berbeda, asal-usul keduanya kemudian cenderung dimitoskan karena dianggap memiliki nenek moyang yang berbeda dengan manusia pendatang. Apa yang dijelaskan hoho ini didukung oleh bukti-bukti ilmiah. Berdasarkan hasil penelitian Badan Arkeologi Medan, di Nias ditemukan jejak-jejak manusia prasejarah yang meninggalkan artefak-artefak di gua-gua, salah satunya yang terkenal adalah di Gua Tőgi Ndrawa yang terletak di Desa Lőlőwanu Niko‘otanő, Kecamatan Gunung Sitoli. Jejak kehidupan tersebut dapat ditemukan melalui alat-alat tulang dan batu berupa serpih, batu pukul, dan pipisan (Wiradnyana, 2006). Selain itu, juga ditemukan sisa-sisa vertebrata yang terdiri dari ikan (pisces), ular (ophodia), kura-kura (rodentia), kelelawar (chiroptera), hewan berkuku genap (artiodactyla), dan cangkang moluska dari kelas gastropoda dan pelecypoda (Wiradnyana, 2008). Di Nias juga berkembang hoho yang lain, tepatnya di Kecamatan Gomo, Kabupaten Nias Selatan. Hoho ini terkait dengan nama Gomo untuk kecamatan yang dimaksud. Kata gomo, memiliki makna owo–gomo–omo, yang berarti perahu –gomo– rumah (Hammerle, 2001). Dahulu kala, terdapat rombongan manusia perahu berasal dari daratan Asia yang terombang-ambing di tengah samudra yang kemudian terdampar di Nias. Meskipun Hammerle mengakui pendapatnya ini tidak memiliki cukup bukti ilmiah, namun tafsir yang dikemukakannya cukup masuk akal. Ia menghubungkan perahu dengan sejarah asal-usul suku Nias yang datang dari seberang lautan. Mereka terdampar di pantai sekitar muara sungai, lalu membangun rumah (omo) di pinggir sungai yang sekarang dikenal dengan Sungai Gomo. Jadi, kata gomo ada hubungannya dengan owo (perahu) dan omo (rumah) (Sonjaya, 2008). Meskipun hoho yang berkembang di Nias tidak hanya seperti yang disebut di atas (karena hampir setiap marga memiliki hoho-nya masing-masing), namun ketiga hoho inilah yang sampai saat ini paling diyakini sebagian besar orang Nias. Dilihat dari rasnya, orang Nias termasuk dalam rumpun Austronesia. Bahasa sehari-hari yang digunakannya, yaitu bahasa Nias, juga semakin memperkuat pendapat tersebut. Secara genealogis, bahasa Nias tergolong rumpun bahasa Austronesia. Ciri dialek bahasa Nias adalah nada yang meninggi di akhir kata dan kalimat. Menurut Reuter (2005), bahasa Austronesia dituturkan secara luas, dari Madagaskar di ujung barat —melintasi Asia Tenggara Daratan maupun Kepulauan hingga ke arah timur melintasi kawasan Pasifik yang berujung di Selandia Baru dan Hawaii. Secara umum, kebudayaan yang berkembang di Nias juga memiliki kesamaan dengan kawasan-kawasan Austronesia lainnya, yaitu berciri megalitik, memuja roh leluhur, dan bercocok tanam. Dilihat dari topografinya, Nias adalah dataran rendah yang di tengahnya terdapat bukit-bukit. Mayoritas penduduknya masih tinggal di pedalaman, di kampung-kampung yang saling mengisolasi, dan berprofesi sebagai petani. Meskipun metode bertani masyarakat Nias masih bersifat sederhana, tetapi mereka tetap mampu menghasilkan beberapa komoditas unggulan, seperti kelapa, karet, cokelat, dan nilam. Akhir-kahir ini –setelah dikelola lebih serius— sektor pariwisata juga merupakan tulang punggung perekonomian penduduk Nias. Di bidang pariwisata, potensi wisata Nias terletak dijalur yang disebut Segitiga Emas Industri Pariwisata Nias Selatan, yaitu Kecamatan Lolowa‘u –Gomo— Pulau-pulau Batu. Porosnya terletak di omo hada, rumah tradisional di Desa Bawomataluo, Kecamatan Teluk Dalam (Julianery, Kompas 06/04/2006). Pulau Nias B. Konsepsi Leluhur Orang Nias Untuk mengetahui lebih jelas dari mana asal-usul atau leluhur orang Nias saat ini, perlu disebutkan terlebih dahulu sejarah lisan yang berkembang di Nias mengenai pembagian kelompok etnis yang ada di pulau ini. Masyarakat Nias meyakini terdapat tiga kelompok etnis berbeda yang pernah —bahkan sampai saat ini keturunannya dianggap masih tinggal di Nias, yaitu: (1) Niha sebua gazuzu, yaitu manusia yang memiliki kepala besar dan merupakan ciri manusia purba yang hidup ribuan tahun lalu dan tinggal di gua-gua, sehingga mereka juga disebut manusia dari bawah tanah (soroi tou). Dalam hoho di atas mereka disebut nadaoya; (2) Niha safusi,yaitu kelompok manusia berkulit putih dan cantik yang tinggal di atas pohon. Dalam hoho di atas mereka disebut sebagai ono mbela; (3) Lani ewöna, yaitu bangsa manusia yang sudah dikategorikan sebagai homo sapiens yang bermigrasi dari seberang lautan dengan keahlian dan pengetahuan yang lebih tinggi dari kedua pendahulunya, sehingga mereka berpengaruh besar dan membawa transformasi sosial di Nias. Kelompok etnis inilah yang selanjutnya memproklamirkan diri sebagai ono niha (orang Nias) (Hammerle, 2001). Namun, seiring berjalannya waktu, dan seolah-olah mengamini ramalan Teori Evolusi, hanya kelompok etnis lani ewöna lah yang sanggup bertahan hidup di Pulau Nias. Mereka memiliki teknologi yang lebih maju, sehingga sanggup bertahan hidup tidak hanya dari mengandalkan sumber pangan yang tersedia di alam tetapi memiliki ketrampilan untuk mengolah tanah dan bercocok tanam. Kemampuan inilah yang diduga banyak arkeolog telah membuat manusia ini sanggup bertahan hidup dalam waktu yang lama. Berbeda dengan kedua pendahulunya yang sangat tergantung dengan alam. Ketika sumber pangan yang tersedia di alam semakin menipis, mereka akhirnya terdesak dan kemudian punah. Sebelum dapat dipastikan bahwa hanya lani ewönalah yang merupakan leluhur manusia Nias saat ini, perlu kiranya dijelaskan terlebih dahulu tentang kedua pendahulunya secara lebih lengkap karena hal ini dapat membantu mencari tahu siapa sebenarnya mereka dan mengapa mereka menjadi punah. 1. Ono mbela atau Niha Safusi Sebagaimana disebut di atas, ono mbela adalah mahluk yang hidup di atas pohon. Di kalangan orang Nias, terdapat dua pendapat yang berbeda mengenai mahluk ini. Sebagian penduduk Nias meyakini bahwa ono mbela adalah benar-benar manusia yang pernah hidup di Nias. Sedangkan sebagian yang lainnya menganggap ono mbela bukan manusia, melainkan mahluk gaib yang menguasai segala macam binatang di hutan. Namun, mengenai ciri fisik yang dimiliki ono mbela, masyarakat Nias tidak berselisih pendapat. Ono Mbela memiliki rambut putih, kulit putih, berparas cantik, dan mata biru seperti orang Eropa. Ono mbela sudah menghuni Nias jauh sebelum ono niha datang ke pulau ini. Ono mbela kemudian kalah bersaing dengan kelompok pendatang dan seringkali “dibodohi” karena dianggap lebih rendah dan bukan berasal dari golongan manusia. Dengan nada sombong, para pendatang ini kemudian menegaskan dirinya sebagai satu-satunya kelompok yang berhak menghuni pulau Nias. Akibat dominasi dari pendatang yang memiliki teknologi dan kebudayaan yang lebih maju, ono mbela mulai terdesak, dan akhirnya mengundurkan diri hingga tidak dapat dijumpai lagi (Hammerle, 2001). Sayang, usaha untuk membuktikan bahwa ono mbela adalah manusia selalu terbentur dengan data. Sejauh ini, belum ditemukan –bahkan tidak akan pernah –artefak-artefak yang menjelaskan bahwa mahluk ini pernah hidup di Nias. Hal ini sebenarnya dapat dimaklumi, karena jejak-jejak di tempat terbuka memang lebih mudah terhapus atau hilang karena proses alam atau aktivitas manusia, seperti pembakaran hutan dan perladangan yang intensif. Untuk menjelaskan keberadaan ono mbela di Nias, ada dua hipotesis yang dapat diajukan. Hipotesis pertama menyebutkan bahwa ono mbela adalah ras Australomelanesid, manusia pertama yang menghuni wilayah Asia Tenggara. Seiring berjalannya waktu, keberadaan mereka kemudian menjadi mitos bagi masyarakat Nias dari generasi baru sesudahnya. Hipotesis yang kedua menyebutkan bahwa ono mbela merupakan ras Mongoloid yang datang lebih awal ke Nias yang sebenarnya sudah membawa kebudayaan neolitik, namun tidak berkembang di Nias karena kondisi lingkungan menuntut para pendatang ini mengembangkan tradisi perburuan (Sonjaya, 2008). 2. Nadaoya atau Niha Sebua Gazuzu Nadaoya dianggap sebagai salah satu makhluk yang mungkin telah hidup sezaman dengan ono mbela. Hal ini dibenarkan oleh salah satu hoho yang berkembang di Nias, bahwa antara ono mbela dan nadaoya berasal dari satu keturunan, yaitu Ibu Sirici. Dilihat dari ciri fisiknya, nadaoya berkulit gelap dan memiliki kepala yang besar. Mereka diduga adalah manusia purba dari ras Austromelanesid yang hidup di lembah-lembah yang dalam dan gelap serta di tebing sungai yang tinggi dan terjal. Habitat yang dimaksud menjurus pada gua-gua, sebagaimana umumnya manusia purba lainnya. Dalam kepercayaan dan tradisi lisan Nias yang berkembang di Nias, nadaoya digambarkan sebagai makhluk jahat atau setan raksasa (bekhu sebua). Suaranya besar sekali, aksentuasi bunyinya tidak jelas, dan terdengar patah-patah. Bagi orang Nias, bertemu dengan nadaoya adalah sebuah malapetaka. Sebab, kalau mereka lewat dan bertemu dengan manusia, mereka akan langsung memangsa manusia tersebut. Sampai saat ini, cerita tentang kejahatan nadaoya masih berkembang. Jangankan bertemu, menyebut nama nadaoya saja adalah hal yang menakutkan bagi masyarakat Nias. Apalagi kalau penyebutan itu dimaksudkan untuk mengutuk orang lain: ya mu‘a ö nadaoya ya mana ndraugö nadaoya (semoga nadaoya mamangsa engkau). Ungkapan ini adalah sesuatu yang keras dan ditakuti orang Nias. Kalau dikaji tentang asal-usul masyarakat Nias, lalu dihubungkan dengan bukti-bukti material yang terdapat di dalam gua-gua (seperti artefak-artefak yang ditemukan di Gua Tőgi Ndrawa yang terletak di Desa Lőlőwanu Niko‘otanő, Kecamatan Gunung Sitoli) dan tradisi lisan sebagaimana diceritakan di atas, maka nadaoya merupakan kelompok manusia purba yang pernah tinggal di Nias dan menganut hukum rimba. Mereka sudah hadir di pulau Nias sebelum kedatangan etnis lain. Dengan demikian, mereka bukanlah setan raksasa. Mereka semakin ganas karena terpojok dan tidak memiliki tempat lagi untuk berkembang, karena alam telah dirusak oleh manusia yang memiliki pengetahuan (Nata‘alui Duha, 2008). Gua Tőgi Ndrawa Jika kita merujuk pada data arkeologis yang dipublikasikan Badan Arkeologi Medan, nadaoya benar-benar pernah hidup di Nias. Mereka tinggal di gua-gua sejak 12.000 tahun yang lalu, bahkan berlanjut hingga tahun 1150-an. Mereka memanfaatkan biota laut dan mangrove. Budaya yang mereka miliki disebut budaya Hoabinh, sebuah praktek kehidupan yang memanfaatkan batu-batuan sebagai alat bantu yang disebut Sumatralith, mirip dengan teknologi yang digunakan manusia purba di wilayah Hoabinh, Vietnam (Wiradnyana, 2006). Dilihat dari rentang masa hidupnya, kemungkinan besar nadaoya pernah hidup dalam waktu yang bersamaan dengan kelompok pendatang. Hanya saja, karena manusia gua belum mengenal teknologi bercocok tanam, akhirnya mereka kalah bersaing dengan manusia pendatang. Akibatnya, kelompok mereka lambat-laun lenyap, dalam arti punah, atau sebagian membaur dengan kelompok pendatang dalam jalinan pernikahan atau hubungan ekonomi (tuan-budak) (Sonjaya, 2008). Terkait dengan kondisi di atas, Sonjaya (2008) dengan sangat baik membuat analogi mengenai interaksi antara manusia gua dengan kelompok pendatang. Interaksi antara manusia gua dengan kaum pendatang mirip interaksi antara masyarakat Baduy dengan masyarakat Jakarta. Jakarta sudah berbudaya metropolis, sedangkan Baduy berbudaya ladang yang masih menggunakan beliung batu untuk bercocok tanam. Dalam waktu yang sama dan wilayah yang sama (Jawa bagian Barat) berkembang dua kebudayaan yang secara teknologis sangat berbeda ibarat bumi dan langit. Perlahan-lahan Baduy sedang berubah karena gencarnya pengaruh globalisasi dari Jakarta. Suku yang menurut Yuanzhi (2005), sebagai salah satu suku tertua di Nusantara, dan sudah bertahan ratusan bahkan ribuan tahun ini barangkali tidak lama lagi akan punah karena meluruhnya sekat-sekat budaya, sosial, dan ekonomi di antara keduanya. Kehidupan manusia gua dengan kelompok pendatang di Nias pada abad-abad yang lalu dapat dibayangkan seperti kehidupan antara orang Baduy dengan orang Jakarta. 3. Lani Ewöna atau Ono Niha Menurut Teori Persebaran Kebudayaan, leluhur orang Nias atau ono niha saat ini berasal dari daratan Cina bagian selatan, tepatnya wilayah Yunan. Hal ini dapat dilihat dari bukti-bukti linguistik dan arkeologi. Leluhur ono niha adalah penutur bahasa Austronesia yang bermigrasi dari Yunan secara bergelombang sekitar 3500 tahun sebelum Masehi hingga awal-awal Masehi (Sonjaya, 2008). Konon, ketrampilan orang Nias dalam membuat patung kayu, menhir, benda-benda megalitik lainnya, serta teknik bertani dan beternak, diwarisi dari orang-orang Yunan yang datang ke pulau ini. Hipotesis ini bertambah kuat jika melihat peralatan dan gaya arsitektur di Nias. Pengaruh itu berupa motif kepala naga (hewan yang melegenda di Cina) yang terdapat pada pegangan atau gagang pedang, bagian depan rumah bangsawan, peti mayat, dan sejumlah megalit di daerah Lahusa dan Gomo (Hammerle, 2007). Kelompok pendatang ini juga tidak lagi tergantung dengan alam, karena sudah mengenal tata cara bercocok tanam dan food producing. Mereka sudah tinggal menetap. Banyaknya waktu luang juga telah mendorong mereka memikirkan dan membayangkan hal-hal yang abstrak, seperti keindahan. Ekspresi keindahan tersebut dapat dilihat pada manik-manik yang terdapat di pakaian orang Nias dan gelang yang dipakai di lengan dan kaki. Dilihat dari periodenya, masa ini disebut sebagai zaman neolitikum yang ditandai dengan kemampun food producing dan benda-benda kebudayaan, seperti tembikar, kapak batu, patung, dan lain-lain. Atas keunggulannya itu, para pendatang dari Yunan yang berkebudayaan neolitik kemudian memproklamirkan diri sebagai kelompok pertama yang telah meletakkan dasar-dasar kebudayaan sebagaimana diekspersikan manusia Nias saat ini. Mereka juga menyebut dirinya sebagai anak manusia yang berbeda dengan kelompok manusia yang tinggal di pohon dan di gua, seperti ono mbela dan nadaoya (Sonjaya, 2008). Orang-orang Yunan tersebut diperkirakan tiba di Nias melalui Pelabuhan Singkuang, Tapanuli Selatan. Apabila dilihat di peta, Kota Singkuang terletak persis di sebelah utara pantai barat Sumatra. Mereka kemudian bergerak ke arah barat dan sampai di wilayah Lahusa dan Gomo, yang sekarang ini menjadi pusat pemerintahan tingkat kecamatan. Jarak yang ditempuh sekitar 110 kilometer, lebih dekat dibandingkan perjalanan dari Sibolga menuju Gunung Sitoli. Sampai sekitar 500 tahun yang lalu, pusat perkembangan kebudayaan Nias masih terletak di tepi Sungai Susua dan Gomo (Hammerle, 2007). Jika dihubungkan dengan salah satu hoho yang berkembang di Nias, khususnya di Kecamatan Gomo, hipotesis ini bertambah kuat. Kata gomo, memiliki makna owo–gomo–omo, yang berarti perahu –gomo– rumah. Owo merujuk pada alat transportasi yang digunakan oleh orang-orang Yunan waktu itu, yaitu perahu. Gomo merujuk pada wilayah yang dihuni, yaitu di daerah Gomo. Sedangkan omo merujuk pada rumah yang dibangun di sekitar pinggiran Sungai Gomo (Sonjaya, 2008). Kedatangan orang-orang Yunan dengan kemampuan teknologi yang lebih maju inilah yang disinyalir telah mendesak keberadaan ono mbela dan nadaoya. Karena kalah bersaing dalam memperebutkan sumber daya alam, mereka lama-kelamaan menjadi punah (Nata‘alui Duha, 2008). Secara lebih sistematis, penyebab kepunahan ono mbela dan nadaoya kira-kira dapat diilustrasikan sebagai berikut: Pertama, berlakunya hukum rimba. Manusia purba menganut hukum rimba, siapa yang kuat, maka dialah yang menang dan dapat bertahan hidup. Ketika orang Yunan datang ke Nias, dengan berbagai keunggulan pengetahuan dan teknologinya, secara logika mereka lebih kuat dibanding dengan ono mbela dan nadaoya. Sebab, mereka tidak hanya mengandalkan otot dalam menguasai alam untuk mempertahankan hidup, tetapi juga otak. Ono mbela dan nadaoya yang terdesak kemudian mengasingkan diri. Karena hanya mengandalkan ketersediaan pangan dari alam, mereka akhirnya punah karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial yang terus berubah dan sumber pangan yang semakin menipis. Mungkin juga telah terjadi peperangan di antara mereka yang disebabkan oleh perbedaan etnis. Kaum pendatang yang menguasai teknologi lebih maju, akhirnya memenangkan peperangan tersebut. Kedua, sumber daya alam yang menipis. Lantaran manusia purba seperti kelompok ono mbela dan nadaoya sangat bergantung pada alam, maka ketika alam rusak dan hutan habis dibabat secara liar, habitat mereka semakin terjepit. Tidak ada tempat dan sumber makanan untuk dapat bertahan hidup. Maka mereka tidak berkembang dan akhirnya punah. Ketiga, pembauran melalui perkawinan. Persinggungan antara kelompok pendatang dengan kelompok-kelompok asli tidak hanya berujung pada persaingan dan peperangan saja, tetapi juga sangat mungkin telah terjadi perkawinan di antara mereka. Terlebih lagi –seperti dijelaskan sebelumnya bahwa kelompok ono mbela itu cantik-cantik, sehingga sudah barang tentu, suka atau tidak suka, mereka potensial dikawini oleh kaum pendatang yang lebih pintar. Mereka bagaikan gadis desa yang lugu tetapi cantik yang selalu menjadi incaran para pria dari kota sebagaimana terjadi pada zaman sekarang. Keturunan mereka tidak lagi disebut sebagai kelompok ono mbela atau nadaoya, tetapi mengikuti garis keturunan kelompok yang lebih dominan dan berkuasa. Mengenai hal ini, Hammerle (2001) mengusulkan kepada para peneliti untuk meneliti DNA manusia Nias saat ini untuk menguji apakah telah terjadi pembauran secara genetik antara kelompok pendatang dengan kelompok asli. Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa pendapat yang paling kuat tentang siapa sebenarnya leluhur orang Nias atau ono niha saat ini adalah lani ewöna, imigran yang berasal dari Yunan, Cina bagian selatan. Meskipun kesimpulan ini juga tidak menampik fakta (jika telah dibuktikan secara ilmiah) bahwa telah terjadi perkawinan antara lani ewöna dengan ono mbela dan nadaoya. Namun, jika dilihat ciri-ciri fisik orang Nias saat ini, yaitu berkulit putih, bermata agak sipit, bertubuh gempal dan pendek, pendapat yang mengatakan bahwa leluhur orang Nias berasal dari Yunan sangat beralasan, karena pada umumnya orang-orang Cina juga memiliki ciri-ciri fisik yang sama. Setelah beratus-ratus, bisa juga beribu-ribu tahun, nyaris tidak ada kelompok etnis lain yang menjadi pesaing lani ewöna di Nias, mereka menjadi satu-satunya kelompok yang berkuasa, sehingga mereka lebih leluasa untuk mengembangkan tempat pemukiman. Orang-orang Nias mulai beranjak dari tempat tinggal para leluhurnya di sepanjang Sungai Gomo, terutama di daerah Börönadu (sekarang sebuah desa yang berada di Kecamatan Gomo). Hal ini dapat dilihat dari sejarah lisan yang berkembang di Börönadu. Menurut Ama Watilina Hia, tokoh adat di Börönadu, nenek moyang orang-orang di Gunung Sitoli dan Teluk Dalam berasal dari Börönadu. Orang-orang Gunung Sitoli adalah keturunan orang Börönadu yang bernama Lase, sedangkan nenek moyang orang Teluk Dalam adalah orang Börönadu yang bernama Sadawamölö (Sonjaya, 2008). Sejarah lisan ini diperkuat oleh pendapat M.G. Thomsen dalam bukunya yang berjudul Famareso Nhawalö Huku Föna Awö Gowe Nifasindro (Megalithkultur) Ba Dano Nias (1976) yang menyebutkan bahwa perpindahan marga-marga besar dari Börönadu ke tempat-tempat lain berlangsung antara 26 sampai 40 generasi yang lalu (Sonjaya, 2008). Satu generasi sama dengan 25 tahun. Sayangnya, pendapat Thomsen tersebut tidak diikuti dengan penjelasan ke mana persebaran orang-orang Börönadu tersebut. Lebih jelasnya sebagai berikut: “Telambanua bersama klannya pindah dari Börönadu kira-kira 40 generasi yang lalu. La‘ia bersama klannya pindah dari Börönadu 38 generasi yang lalu. Ndururu bersama klannya pindah dari Börönadu 36 generasi yang lalu. Zebua bersama klannya pindah dari Börönadu 38 generasi yang lalu. Dan Hulu bersama klannya pindah dari Börönadu 26 generasi yang lalu.” Sejak proses persebaran tersebut, marga-marga besar di Nias mulai terbentuk, yang berujung pada munculnya bibit-bibit persaingan dan permusuhan antarsesama orang Nias. Bagi orang Börönadu, orang-orang yang meninggalkan Börönadu dianggap sebagai orang yang tidak menghormati adat dan leluhur, meskipun proses perpindahan tersebut mungkin lebih disebabkan oleh faktor-faktor pragmatis, seperti mencari sumber kehidupan yang lebih layak menuju daerah yang lebih makmur, karena secara geografis Börönadu memang terpencil. Setelah peristiwa tersebut, persaingan antarmarga semakin kuat dan atmosfirnya masih terasa hingga sekarang. Suasana interaksi antarmarga dan antarkampung diwarnai egosentrisme, yaitu melihat marga atau kampung yang lain selalu dari perspektif marga dan kampung sendiri. Setiap marga berusaha menampilkan dirinya sebagai marga dengan identitas yang paling unggul. Fenomena ini sejalan dengan Teori Identitas Sosial, yang berasumsi bahwa pada dasarnya setiap individu yang tergabung dalam kelompok sosial tertentu cenderung akan membangga-banggakan kelompoknya sendiri, dan menganggap kelompok yang lain lebih buruk atau rendah (Deschamps, 1982). Titik puncak dari suasana persaingan dan permusuhan tersebut adalah berlakunya tradisi owasa (pesta 3 hari tiga malam dengan mengorbankan puluhan, bahkan ratusan babi) dan tradisi mangani binu (memburu kepala manusia), yang diperkenalkan pertama kali oleh tokoh bernama Awuwukha, manusia digdaya yang hidup di Nias pertengahan abad ke-19. Tradisi tersebut adalah simbol identitas dan kebanggaan orang Nias. Harga diri seseorang ditentukan oleh berapa jumlah kepala babi dan kepala manusia dari marga lain yang telah dipenggal. Mekipun tradisi ini mulai menyusut pengaruhnya semenjak para misionaris Barat mewartakan agama Kristiani di pulau ini pada akhir abad ke-19 M dan awal abad ke-20 M, suasana permusuhan yang terwarisi secara lintas generasi tersebut ternyata tidak hilang sepenuhnya, dan masih berdampak pada pembentukan kepribadian orang Nias saat ini. Wajar saja –jika orang Nias kemudian dianggap memiliki kecurigaan yang tinggi dan cenderung menutup diri ketika berhadapan dengan orang asing (Hammerle, 2001). C. Implikasi Sosial Di bagian ini akan dibahas implikasi-implikasi sosial sebagai bagian dari konsekuensi pemahaman orang Nias terhadap leluhur mereka. Orang Nias adalah kelompok etnis yang sampai saat ini masih cukup kuat memegang teguh tradisi, yang diwariskan secara turun-temurun oleh leluhurnya. Tradisi menjadi semacam sarana yang dapat menjadi jembatan komunikasi antara orang Nias saat ini dengan leluhurnya, dan juga dapat berfungsi sebagai media untuk mengukuhkan identitas sosial. Terkait dengan tradisi penghormatan terhadap leluhurnya, orang Nias mempraktekkan ritual-ritual tertentu agar hubungan baik dengan leluhur tetap terbina. Orang Nias mewarisi sebuah tradisi yang kompleks dari leluhurnya. Mereka memraktekkan banyak ritual, karena hampir setiap peristiwa kehidupan dihayati dan dimaknai sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Namun, bagian ini tidak bermaksud menjelaskan itu semua. Bagian ini hanya berusaha membabarkan ritual-ritual khusus yang secara langsung berkorelasi dengan penghormatan terhadap nenek moyang atau leluhur orang Nias. Di atas telah dijelaskan tentang ono mbela, mahluk yang dianggap sebagai salah satu leluhur orang Nias, meskipun di Nias sendiri terjadi perbedaan pendapat apakah ono mbela merupakan generasi pertama penghuni Pulau Nias, atau sebangsa mahluk halus. Terlepas dari pendapat mana yang benar, yang pasti keberadaannya sampai saat ini masih berpengaruh cukup kuat terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat Nias. Ono mbela adalah mahluk yang tinggal di atas pohon, yang berkuasa atas kehidupan seluruh marga satwa di hutan. Sehingga, ketika orang Nias hendak berburu binatang di hutan, mereka harus menyelenggarakan ritual persembahan sebagai bentuk penghormatan (dalam bahasa jawa pamit) kepada ono mbela. Ritual persembahan tersebut dilaksanakan dengan cara mengorbankan anak babi atau ayam berbulu putih di bawah pohon besar di hutan yang dianggap sebagai rumah ono mbela. Setelah memberi persembahan tersebut, si pemburu kemudian pulang ke rumah dan wajib melakukan puasa selama empat hari. Selama berpuasa, ia tidak boleh berdusta dan tidak boleh berpergian ke mana-mana. Setelah puasa selesai ditunaikan, ia baru diperbolehkan pergi ke hutan untuk berburu (biasanya ditemani anjing) (Sonjaya, 2008). Ritual tersebut seolah-olah menggugurkan pendapat yang mengatakan bahwa hubungan antara orang Nias dengan ono mbela selalu berada dalam situasi permusuhan. Bahkan di daerah Börönadu, ono mbela lebih populer dengan sebutan belada, yang artinya adalah sahabat atau kawan. Dengan demikian, fakta ini dapat dijadikan sebagai bukti bahwa punahnya ono mbela di wilayah Nias bukan karena direndahkan atau diperangi oleh orang Nias (ono niha), melainkan lebih karena faktor seleksi alam sebagaimana berlaku dalam Teori Evolusi, yaitu kalah bersaing dalam hal teknologi dan kebudayaan. Dengan aksentuasi nilai yang berbeda, di Nias juga terdapat tradisi penghormatan terhadap leluhur yang disebut mangani binu atau tradisi memburu kepala. Kepala yang dimaksud bukanlah kepala hewan, melainkan kepala manusia. Bagi pihak yang kurang memahami budaya Nias secara lebih utuh, tradisi ini mungkin dianggap sebagai kebiadaban –praktek kebudayaan paling keji– yang pernah dibuat oleh anak manusia. Bahkan, seringkali terjadi kesalahpahaman yang berujung pada tuduhan bahwa orang Nias dulunya adalah termasuk suku kanibal, sebagaimana diungkapkan oleh Masashi (2005). Mengenai hal ini dia menulis: “In the tenth century, Ajä‘ib al-Hind described the people between Fansur (present day Barus) and Lambri and those in Kedah and the island of Nias as cannibals.” Meskipun secara moral tradisi mangani binu tidak dibenarkan, namun dengan menelusuri konteks sosio-historis masyarakat Nias zaman dulu, diharapkan akan ditemukan titik terang mengapa tradisi ini bisa berlaku. Dalam sejarah lisan yang berkembang di Nias, tradisi mangani binu tidak dapat dipisahkan dari legenda Awuwukha, sosok manusia digdaya yang pernah hidup di Nias pertengahan abad ke-19 M. Mengenai kapan persisnya Awuwukha pernah hidup, telah terjadi silang pendapat. Menurut Sonjaya (2008), Awuwukha hidup sekitar 5 generasi (setiap generasi sama dengan 25 tahun) yang lalu. Sedangkan menurut Thomsen (dalam Zebua, 2008), Awuwukha hidup jauh lebih lama, yaitu sekitar 7 generasi yang lalu. Untuk membuktikan pendapat siapa yang lebih benar, menurut Zebua perlu dilakukan pembuktian triangulasi, mencari sumber pembanding lainnya yang dianggap lebih valid. Sejenak kita lupakan dulu silang pendapat di atas, karena mengetahui siapa sosok yang dimaksud sebagai Awuwukha jauh lebih penting. Mengenai tradisi mangani binu yang identik dengan sosok Awuwukha, Sonjaya menceritakan faktor pencetus tradisi tersebut sebagai berikut: “…..kira-kira pertengahan abad ke-19, di Börönadu hidup seorang manusia pemberani dan hebat karena kepiawaiannya dalam membunuh orang, bernama Awuwukha. Pada suatu hari, datanglah ke Börönadu seseorang dari Susua yang menyebarkan kabar bahwa di kampungnya akan diadakan sebuah pesta owasa yang cukup besar. Ia berjalan di tengah perkampungan sambil meneriakkan pengumuman tersebut dengan harapan akan banyak warga Börönadu yang datang ke pesta tersebut. Ketika melewati rumah Awuwukha, si pembawa kabar tersebut terhenti langkahnya karena ada teriakan seorang ibu yang cukup mengganggu dirinya. “Hey, lelaki yang kelihatan kemaluannya! Untuk apa teriak-teriak seperti itu?” teriak perempuan yang tiada lain adalah ibu Awuwukha. Bagi orang Nias, itu termasuk ungkapan yang sangat mengejek. Karuan saja si pembawa kabar tersebut marah dan memukulkan kemaluannya ke tiang rumah ibu Awuwukha hingga tiang rumah gempal. Orang itu melampiaskan kemarahannya dengan menunjukkan bahwa kemaluannya seharusnya tidak diejek. Setelah puas menunjukkan kejantanannya, ia pun kemudian pergi meninggalkan Börönadu.” (Sonjaya, 2008: 63). Selang beberapa hari kemudian, ternyata lelaki tersebut datang lagi ke Börönadu dengan serombongan orang untuk menuntaskan kemarahannya. Rumah Awuwukha dan tujuh rumah saudaranya kemudian dibakar rombongan orang tersebut, termasuk lumbung padi milik Laimba, tokoh adat masyarakat Börönadu. Awuwukha hanya bisa berdiri mematung– terbelalak melihat kejadian tersebut. Sambil menahan amarah yang sudah mencapai ubun-ubun, di depan ibunya– Awuwukha bersumpah akan menuntut balas dengan cara memenggal kepala orang-orang yang terlibat dalam pembakaran tersebut. Tanpa persetujuan ibunya dan Laimba, Awuwukha nekad pergi untuk menuntut balas ke Susua. Beberapa hari kemudian: “……dengan langkah tenang Awuwukha pulang dengan membawa belasan kepala manusia di dalam karung yang kemudian ditunjukkannya pada Laimba. Ternyata Laimba tidak berkenan dengan hal itu. Ia sebenarnya menghendaki musuhnya dibawa hidup-hidup. Laimba sadar betul bahwa dengan kejadian tersebut pertumpahan darah pasti akan berlanjut.” (Sonjaya, 2008: 65). Dugaan Laimba terbukti. Penduduk Susua merencanakan pembunuhan terhadap Awuwukha, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Tapi semuanya berujung pada kegagalan. Awuwukha terlampau kuat untuk dibunuh. Kehebatan Awuwukha kemudian tersiar sampai ke seluruh penjuru Nias. Kehebatannya kemudian dikukuhkan melalui upacara owasa, upacara tertinggi di masyarakat Nias. Jika seseorang telah menunaikan owasa, maka setiap perkataannya dengan sendirinya telah menjadi hukum. Sejak saat itu, setiap perkataan Awuwukha harus diikuti, bahkan sampai menjelang kematiannya. Sebelum meninggal, Awuwukha berpesan kepada anak-anak dan seluruh anggota keluarganya. Jika ia meninggal nanti, ia ingin ditemani oleh lima orang yang akan melayaninya kelak di alam kubur: satu orang menyiapkan minum, satu orang menjaga, satu orang untuk menyiapkan makanan, satu orang membuat sirih pinang, dan satu orang sebagai tukang pijat (Sonjaya, 2008). Karena setiap perkataan Awuwukha adalah hukum, maka wajib bagi anak-anaknya untuk mencarikan lima kepala untuk menemani penguburan Awuwukha. Hal ini berarti anak-anak Awuwukha harus melakukan mangani binu, karena tak kuasa menolak wasiat leluhur. Sejak kematian Awuwukha, dugaan Laimba tidak hanya sekedar kekhawatiran, tapi seolah-olah telah menjelma menjadi sebuah kutukan. Sebab, mangani binu kemudian menjadi tradisi yang mengakar kuat di Nias. Ia tidak hanya diselenggarakan untuk menghormati dan menyenangkan leluhurnya saja, tetapi kemudian juga dipraktekkan untuk kepentingan-kepentingan lainnya, misalnya membangun omo sebua (rumah bangsawan Nias). Mengenai hal ini, Yupiter Bago (dalam Zebua, 2008) berkomentar: “Produk budaya megalitik Nias justru lebih banyak ditopang oleh tradisi sawuyu dan binu, ketimbang tradisi gotong royong. Banyak omo sebua, misalnya, didirikan dengan tenaga sawuyu, menyembelih sawuyu, memenggal kepala ‘kepala tukang‘-nya, bahkan menyajikan beberapa butir kepala (binu zimate) yang didapatkan lewat ekspedisi ‘moi badano‘ ke banua (kampung) lain.” Bahkan, tradisi mangani binu juga berlaku bagi kaum lelaki yang akan meminang calon istrinya. Ia harus mempersembahkan kepala musuh kepada keluarga calon mempelai perempuan. Semakin banyak jumlah kepala yang ditunjukkan di depan calon mertua, maka semakin berharga lelaki tersebut. Bahkan, bukan hanya pelakunya saja yang layak bangga, tetapi juga leluhur-leluhurnya, karena dianggap telah berhasil melahirkan keturunan yang hebat (Hammerle, 2001). Interkoneksi antara kewajiban memuliakan leluhur dan keinginan menyandang identitas sosial yang tinggi seolah-olah menjadi justifikasi bagi tradisi manguni binu di Nias. Berbicara tentang tradisi mangani binu di Nias terasa belum lengkap jika tidak membahas sebuah ritual yang disebut famaoso dola, atau pengangkatan tulang-tulang kembali para leluhur. Upacara ini biasanya berlaku bagi kaum bangsawan. Kepala orang yang diambil waktu perburuan ditempatkan di atas kuburan bangsawan pada saat famaoso dola. Upacara ini menggambarkan pandangan eskatologis orang Nias. Ada keyakinan yang berkembang di Nias bahwa leluhur yang sudah mati itu akan bangkit kembali atau akan terjadi kelahiran kembali ketika kepala-kepala hasil buruan itu dipersembahkan (Zebua, 2008). Orang Nias meyakini bahwa roh para leluhur dapat mengendalikan alam dan kehidupan manusia. Dalam kebudayaan yang animistik, manusia selalu berusaha menjalin hubungan yang baik dengan para roh leluhur agar kehidupan dapat berjalan secara harmonis. Untuk menjalin hubungan itu, orang Nias mengenal larangan yang disepakati bersama, salah satunya tidak boleh menyebut nama leluhur secara sembarangan. Menurut aturan, jika nama leluhur hendak disebutkan, maka harus diberi persembahan terlebih dahulu, berupa makanan yang menjadi kesukaan roh yang bersangkutan. Jika larangan tersebut dilanggar, maka orang yang melanggar biasanya akan mendapat celaka (Sonjaya, 2008). Namun, setelah ajaran Kristiani mulai menancapkan pengaruhnya di Nias sejak akhir abad ke19, ritual-ritual adat di Nias mulai ditinggalkan. Ajaran Kristen yang melarang antar sesama manusia saling membunuh, mengutuk tradisi pemujaan terhadap roh leluhur, melarang mendirikan menhir dan membuat patung untuk mengenang leluhur yang sudah meninggal, melarang pesta-pesta besar karena terlalu boros, membuat pengaruh adat pelan-pelan semakin berkurang (Sonjaya, 2008). Namun, keberhasilan misi Kristiani di Nias juga banyak ditentukan oleh strategi yang cerdik dalam mengkonversi ritual-ritual adat sehingga makna ritual tersebut menjadi bergeser. Contohnya adalah diberlakukannya ritual fanano buno (menanam bunga) sebagai ganti ritual famaoso dalo (mengangkat kepala). Contoh lainnya adalah tradisi lompat batu di Nias. Menurut sejarahnya, tradisi lombat batu baru berkembang di Nias bersamaan dengan hadirnya para zendeling di pulau ini. Tradisi ini sengaja diciptakan untuk menghapus tradisi berburu kepala. Simbol kehebatan yang pada awalnya ditentukan oleh seberapa banyak jumlah kepala yang berhasil dipenggal berusaha diganti dengan kemampuan melompati batu yang tinggi (Zebua, 2008). Tradisi Lompat Batu di Nias Bagi orang Nias yang meyakini iman Kristiani sebagai panduan hidupnya, tradisi leluhur di atas memang sudah sepatutnya ditinggalkan. Jika mengenang tradisi leluhurnya yang banyak menampilkan sisi gelap, orang Nias seolah-olah berjuang keras untuk melawan beban sejarah dan trauma yang mendalam. Hal ini terbaca ketika orang Nias saat ini memberikan komentar atas tradisi leluhurnya. “Mengenai tradisi mangani binu dalam budaya megalitik Nias, saya anggap hanya untuk mengingatkan sejarah budaya dan penegasan bahwa hal itu tidak sesuai dengan era religi dan hak azasi manusia. Saya percaya tradisi mangani binu sudah lama lenyap di bumi Nias. Saudaraku, marilah kira berusaha dengan talenta kita masing-masing untuk mengangkat nilai-nilai luhur budaya ono niha yang bersemangat membangun bersama.” (Daeli, 2007). Meskipun tradisi mangani binu sudah lama ditinggalkan oleh masyarakat Nias, pembunuhan dengan memenggal kepala masih kerap terjadi hingga sekarang. Sebagai sebuah tradisi, manangi binu memang telah dikutuk (terutama oleh agama baru), namun pengaruhnya masih sulit ditundukkan oleh orang Nias. Motifnya yang mulai bergeser, dari memenggal kepala berubah menjadi menusuk korbannya. Bayang-bayang emali (pemburu kepala) di masa lalu juga masih menghantui kehidupan kebanyakan orang Nias saat ini. Anak-anak kecil selalu dilarang bermain pada saat hari menjelang malam untuk menghindari emali. Hal ini juga bisa dilihat dari cara para lelaki dewasa di Nias ketika akan berpergian pada malam hari. Mereka selalu membawa senjata tajam untuk jaga diri. Jika pemenggalan kepala dalam tradisi mangani binu biasanya dilakukan oleh emali untuk bekal kubur, mas kawin, membangun rumah, dan alasan peperangan, pemenggalan kepala saat ini lebih banyak disebabkan oleh pertikaian dalam mempertahankan harga diri. Sebagai penutup, sebuah kesaksian yang disampaikan oleh Sonjaya ketika melakukan penelitian di Nias cukup menarik untuk diketahui. Bukti bahwa pengaruh mangani binu belum hilang sepenuhnya dari kehidupan masyarakat Nias –hanya mengalami transformasi motif dan bentuknya saja. “Hanya dalam dua tahun terakhir di kawasan Gomo telah terjadi 12 kali pembunuhan. Dalam minggu pertama di Börönadu, saya mendengar ada pemenggalan kepala di desa tetangga hanya gara-gara memperebutkan pohon rambutan. Setelah mencoba menggali informasi mengenai kejadian itu, ternyata pembunuhan itu lebih berlatar belakang perebutan harga diri ketimbang pohon rambutan itu sendiri. Dua tahun setelah kejadian itu saya kembali berkunjung ke Börönadu. Dua hari sebelum kedatangan saya, di Desa Umbunase, tidak jauh dari Börönadu, terjadi lagi pembunuhan. Korbannya mengalami 11 tusukan dan kepalanya dibelah. Motifnya belum diketahui, yang pasti bukan perampokan karena sejumlah uang disaku korban tidak hilang. Orang-orang di Desa Hiliana‘a berseloroh bahwa motifnya hanya sekedar persaingan olah raga untuk menunjukkan siapa yang paling kuat satu sama lain.” (Sonjaya, 2008: 71-72). Daftar Pustaka * Deschamps, J.C., 1982, “Social Identity and Relations of Power Between Groups”, in Henry Tajfel (ed.), Social Identity and Intergroup Relations, Cambridge University Press. * Hammerle, J., 2001, Asal-Usul Manusia Nias, Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias. * Hammerle, J., 2007, “Nias: Antara Budaya Batu dan Ono Niha”, National Geographic Indonesia, Edisi Juni 2007. Didownload dari http://unesdoc.unesco.org/images/0015/001542/154286ind.pdf pada tanggal 29 Juni pukul 20.15 WIB. * Julianery, 2006, Kabupaten Nias, Artikel Kompas Edisi 06 April 2006. * Koestoro, L.P., Wiradnyana, K., 2007, Megalithic Tradition in Nias Island, Medan: Medan Archeological Office. Didownload dari http://unesdoc.unesco.org/images/0015/001517/151795eo.pdf pada tanggal 29 Juni 2008 pukul 22.30.WIB. * Masashi, Hirosue, 2005, “European Travelers and Local Informants in the Making of the Image of “Cannibalism” in North Sumatra”, The Memoirs of the Toyo Bunko 63 (41-64), Didownload dari http://www2.toyo-bunko.or.jp/zenbun/memoirs63/m_03.pdf pada tanggal 11 Juli 2008 jam 21.00 WIB. * Nata‘alui Duha, 2008, Sowanua dan Nadaoya Manusia Pertama Penghuni Pulau Nias? Didownload dari http://mediawarisan.wordpress.com/2007/08/02/sowanua-dan-nadaoya-manusia-pertama-penghuni-pulau-nias/ pada tanggal 30 Juni 2008 pukul 23.00 WIB. * Reuter, T.A., 2005, Custodians of the Sacred Mountains: Budaya dan Masyarakat di Pegunungan Bali, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. * Sonjaya, J.A., 2008, Melacak Batu, Menguak Mitos: Petualangan Antarbudaya di Nias, Yogyakarta: Impuls dan Kanisius, * Wiradnya, K., 2006, Orang Nias, Tahun 1150 Masih Tinggal di Dalam Gua, Harian SIB Edisi Minggu, 14 Mei 2006. Didownload dari http://niasonline.net/2007/03/12/orang-nias-tahun-1150-masehi-masih-hidup-di-dalam-gua/ pada tanggal 27 Juni 2008 pukul 22.12 WIB. * Wiradnyana, K., 2008, Peralatan Berbahan Cangkang Moluska dari Gua Togi Ndrawa, Nias, Medan: Balai Arkeologi Medan. Didownload dari http://balarmedan.wordpress.com/category/drsketut-wiradnyana/ pada tanggal 27 Juni 2008 pukul 21.13 WIB. * Yuanzhi, K., 2005, Silang Budaya Tiongkok–Indonesia, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer. * Zebua, V., 2008, Kisah Awuwukha Pemburu Kepala. Pramudianto DALAM mitologi Nias yang termaktub dalam buku Asal-usul Masyarakat Nias, P Johannes OFMCap menulis, alam dan seluruh isinya diciptakan oleh Lowalangi. Selesai menciptakan semuanya, beliau menciptakan satu pohon kehidupan yang disebut Tora’a. Pohon itu dierami seekor laba-laba emas. Menetaslah sepasang dewa pertama di alam semesta bernama Tuha Mora’a Angi Tuha Mora’a Ana’a (laki-laki) dan Burutirao Angi Burutirao Ana’a (perempuan). SALAH satu keturunan pasangan dewa pertama ini bernama Sirao, kemudian menjadi raja langit pertama, yang terletak paling dekat dengan bumi. Langit lapisan pertama disebut Teteholi Ana’a. Sirao punya tiga istri. Dari masing-masing istri diperoleh tiga anak laki-laki. Ketika Sirao lanjut usia dan hendak mengundurkan diri dari pemerintahan, beliau mengadakan lomba ketangkasan menari di atas tombak mata sembilan yang dipancangkan di suatu lapangan di depan istana. Perlombaan itu dimenangi oleh putra paling bungsu bernama Luo Mewöna. Putra bungsu inilah yang paling dikasihi Sirao dan rakyatnya sebab dia memiliki sifat rendah hati dan bijaksana. Gagah perkasa pula. Supaya kedelapan putranya yang lain tenteram, Sirao mengizinkan mereka turun ke Tanö Niha-berarti “tanah manusia”-yang merupakan nama asli Pulau Nias. Dari delapan putra Sirao yang diturunkan, empat orang selamat dan merekalah yang menjadi leluhur marga-marga orang Nias zaman sekarang. Mereka adalah: * Hiawalangi Sinada (Hia) menjadi leluhur marga Laia,Telaumbanua,Gulö,Mendröfa, dll. * Gözö Hela-hela Danö (Gözö) menjadi leluhur marga Baeha. * Daeli Bagambolangi (Daeli) menjadi leluhur marga Gea, Daeli, Larosa, dan lain-lain. * Hulubörödanö (Hulu) menjadi leluhur Ndruru, Bu’ulölö, Hulu, dan lain-lain. Putra sulung Luo Mewöna menjadi leluhur Zebua, Bawö, Zega, dan lain-lain. Putra Sirao yang empat lagi tidak beruntung karena mengalami kecelakaan. Salah satu bernama Latura Danö yang karena terlalu berat tubuhnya sewaktu diturunkan, terus menembus bumi dan menjelma menjadi ular besar. Dialah yang menjadi penadah bumi. Jika timbul perang dan ada darah manusia yang merembes ke dalam tanah hingga mengenai tubuhnya, maka ia sangat marah dan menggoyang-goyangkan tubuhnya hingga terjadi gempa bumi. Untuk menghentikan gempa itu, orang Nias berseru, “Biha Tuha! Biha Tuha!” Artinya: “Sudah Nenek! Sudah Nenek!” Ucapan itu diserukan sebagai tanda insaf dan tidak membunuh lagi. Jumat 25 Maret, umat Kristen menghayati kembali penderitaan Yesus Kristus. Penderitaan itu dirasakan oleh para pengikutnya yang secara khusus nyata dalam diri para perempuan yang melambangkan aras ketidakberdayaan atau kelemahan dan oleh Simon dari Kirene sebagai lambang keterpaksaan, dipaksa menderita dan bersama. Tema Jumat Agung yang kami pilih adalah “Mengapa Ia Mati?” Pertanyaan ini tidak lagi muncul dalam diri orang Kristen karena penderitaan dan kematian Yesus Kristus dianggap biasa dan sudah dihafal. Namun, saat ini penderitaan dan kematian Yesus Kristus hadir di depan mata melalui penderitaan saudara-saudara kita di Nias dan sekitarnya yang mengalami gempa kembali pada hari Senin, 28 Maret, berskala 8,7 skala Richter yang mengakibatkan korban jiwa dan materi. Menurut catatan, sejak tahun 1840 sampai 2004 sudah lima kali gempa dan tsunami melanda Nias dengan kekuatan di atas 8 pada skala Richter: • Maret 1843 di bagian utara dan timur Nias. Desa Miga dan Lambaru rusak total. • 10 Februari 1861 di Nias Selatan, khusunya daerah Lagundri. Benteng dan tangsi Belanda hancur dan banyak tentara hilang. • 4 Januari 1907 di Pulau Wunga. Desa Afulu dan Tamula tergenang air dan diperkirakan 200 orang meninggal dunia. • Juli 2001, banjir melanda Nias di daerah Lahusa dan Gomo. • 26 Desember 2004 mengakibatkan korban ratusan jiwa di daerah Mandrehe dan Sirombu. Sebagian kecil di Afulu, Lahewa, Teluk Dalam, dan pulau-pulau batu. • 28 Maret 2005 mengakibatkan kehancuran total di Gunung Sitoli dan sekitarnya serta Telukdalam dan sekitarnya. Gambaran kemarahan Ular Besar (Latura Danö) akibat darah yang mengenai tubuhnya karena ada peperangan tidak sekadar kita pahami sebagai darah yang sungguh-sungguh menetes dari tubuh manusia. Darah tercurah sebagai simbol penderitaan umat manusia akibat angkara murka manusia itu sendiri. Ketika kami, tim dari Sirao Credentia Center, mengadakan penataran 200 pamong praja dan 200 pendeta se-Nias di Gunung Sitoli pada 14-15 Maret 2005 dalam rangka pemulihan dan pemberdayaan Nias, salah satu narasumber, Prof Dr Taliziduhu Ndraha, yang adalah putra Nias dan kybernolog, bertanya kepada peserta, “Masihkah di antara kita ada 10 orang saja yang benar? Jika ada, maka Nias akan menjadi negeri yang berdaya.” Pertanyaan ini amat tajam dan menusuk. Mungkin tidak akan terucap olehnya jika ia bukan orang Nias. Peperangan sedang terjadi dalam diri orang Nias secara menyeluruh. Darah telah mengucur begitu deras. Sang Naga begitu merasakan tetesan darah itu dan marah. Dari reinterpretasi mitos ini dan penderitaan Yesus Kristus, tentu ada yang bisa kita lakukan supaya terjadi pemulihan dalam kehidupan kita sebagai sesama ciptaan Tuhan. Pemulihan terjadi dengan suatu prasyarat. Yang mengalami penderitaan harus mampu mengakui kelemahannya dan membutuhkan pertolongan pihak lain, kesediaan diri untuk ditolong dan berbalik arah (metanoia), berjalan terus (pergi memberitahukan yang lain) mengingatkan kepada kita ketika Maria Magdalena bertemu dengan Yesus Kristus yang sudah bangkit itu. Dari kita dibutuhkan paksaan oleh pihak lain untuk ikut mengangkat penderitaan sesama seperti Simon dari Kirene. Ini juga berlaku pada pemerintah dan media massa yang dipaksa untuk memberitakan Nias, bukan lagi Sumatera Utara. Itulah Nias yang miskin, kecil, tertinggal, terisolasi, menderita, dan jauh di hati. Juga dari kita diperlukan keyakinan dan doa karena melalui itu, orang lain menjadi peduli atas kegelisahan dan kekhawatiran kita. Perempuan sebagai simbol kelemahan, ketertindasan, dan ketidakberdayaan tentu mampu membangun sikap solidaritas antarsesama. Membangun riak- riak kecil dalam hati untuk tergugah dan beraksi bagi sesama. Saatnya kita berseru: “Biha Tuha! Biha Tuha!” Pramudianto Pendeta, Pendiri Sirao Credentia Center, Tim Pemulihan dan Pemberdayaan Nias Making the family as a cultural force prosperous and harmonious

3 komentar:

Silahkan Berkomentar !