Pages

Rabu, Agustus 18, 2021

Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia ke 76 (1945-2021)

Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia 
ke 76 (1945-2021)
INDONESIA TANGGUH
INDONESIA TUMBUH
INDONESIA BERDAULAT PANGAN




Ketika itu INDONESIA adalah raksasa belia. Dalam suasana prasmanan di Istana Presiden, Sukarno tampil dengan stelan peci hitam dan jas. Dia mendapat kehormatan piring pertama. lalu mengambil sayuran pecel. Kemudian melengkapi isi piringnya: beberapa tusuk sate, oseng daun pepaya, dan telur rebus. 
Prasmanan telah menjadi jamuan resmi, kendati sejatinya berasal dari tradisi Indies Rijstafel. Pada kesempatan lain, dia begitu asyik mengunyah lauk dan memainkan nasi di piring dengan jemarinya. Saat-saat seperti ini biasanya dia sedang bersantap bersama sambal.

Suka cita proklamasi kemerdekaan bukanlah jawaban instan akan terwujudnya gagasan gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharja -negeri yang sangat subur dan makmur;  berikut tertib, tenteram, sejahtera, dan berkecukupan segala sesuatunya.
Bung Karno sadar betul bahwa peristiwa itu adalah tapak awal setelah perjalanan panjang terlepas dari kolonialisme. Tak heran bila pada akhir kuasanya, dia masih sempat mengingatkan dalam pidato di depan elite bangsa pada 30 September 1965
bahwa, "revolusi belumlah selesai!"

Di dalam gegap gempita euforia kemerdekaan, bangsa yang baru lahir ini seketika memasuki tantangan akbar:
Ketidakstabilitasan politik, sosial, dan ekonomi. 
Dalam jangka lima tahun setelah proklamasi, gagasan itu mulai tergerus dan memudar, khususnya di Pulau Jawa. Krisis pangan yang semakin terasa dikarenakan agresi militer Belanda dan pertelingkahan elite politik yang tak kunjung usai. Bung Karno menyadari penuh hal ini sebagaimana dia katakan "kepada orang yang lapar tidak bisa diberikan kepadanya pemikiran revolusi".

Saat itu Indonesia yang baru saja belajar berjalan dan mengeja harus tertatih-tatih. Negeri ini dirundung konsolidasi politik yang tak berkesudahan, sementara masih berhasrat untuk diakui kehadirannya di dunia.

Sejak dahulu, kita-kita di Jawa menjadi barometer dan imajinasi kemakmuran dan kesejahteraan di Nusantara. Namun pada awal2 masa kemerdekaan, sebagian besar penduduknya sebenarnya hidup dengan perut terlilit kain dan sarung untuk mengganjal lapar.







BERSIASAT DI MEJA MAKAN
Pada dasarnya pemerintahan Bung Karno tidak menampik realitas kritis atas isu pangan ini. Salah satunya, sejak 1950 Prof. Dr. Poerwo Soedarmo telah ditunjuk untuk memimpin Insituut voor Volksvoeding, kelak dinamakan sebagai Lembaga Makanan Rakyat di Gedung Exjkman, Jakarta.

Secara garis besar, Lembaga Makanan Rakyat bertugas mempelajari kesehatan penduduk dalam hubungannya dengan makanan. Selain itu juga memperbaiki konsumsi nutrisi makanan untuk meningkatkan tingkat kesehatan penduduk dalam perspektif gizi. Sebuah lembaga yang nanti menelurkan para ahli gizi untuk kesehatan bangsa.

Bahkan, Bung Karno mengingatkan kita
dalam pidatonya di Fakultas Pertanian Universitas Indonesia pada 27 April 1952.
Dia mengungkapkan, jika pemerintah menitikberatkan kebijakan pada sawah, Indonesia akan sulit memenuhi kebutuhan pangan masyarakat yang terus meningkat.

"Kenapa kita harus membuang devisa 120 sampai 150 juta dolar tiap tahun untuk membeli beras dari luar negeri?" ujarnya. "Persediaan bahan makanan ini harus ditambah... Tanah kering harus ditanami... Nilai dan khasiatnya harus sama dibuat sederajat dengan padi, misalnya jagung, jawawut, kedelai, kacang tanah, dan lain sebagainya."

Proyek mercusuar sepanjang masa revolusi yang megah, meriah, dan penuh suasana optimisme pun diwujudkan dalam KAA 1955, PATA Maret 1963, dan Ganefo 1963. 
Misi ini digunakan dengan apik dan cantik oleh Bung Karno sebagai panggung meja makan. Ajang yang menciptakan kepuasan batin akan jati diri masa depan makanan bangsa yang dibayangkan.
Di sinilah peran Bung Karno meletakkan dasar dan praktik awal dari gastro-diplomasi, diplomasi makanan Indonesia yang pertama.
Misalnya, praktik pencitraan itu diekspos sedemikian serius oleh Bung Karno bersama Sultan Hamengku Buwana IX yang menjabat 
Ketua Dewan Pariwisata Indonesia. Mereka memotivasi juru masak agar menghidangkan masakan Nusantara untuk para atlet.

Menjawab tantangan krisis pangan saat itu, Bung Karno menegaskan kembali sikapnya dalam pidato 17 Agustus 1963 untuk tidak meminta-minta kepada asing. Apalagi, jika ada yg mengulurkan bantuan, tetapi untuk mencekik leher bangsa Indonesia. "Buat apa kita bicara politik bebas kalau kita tidak bebas dalam hal urusan beras.
Jika kita tidak sanggup menyediakan sandang pangan di negara kita yang kaya ini, ini menunjukkan kita bodoh, kita benar-benar bodoh, imbuhnya. 
"Lebih baik tetap makan gaplek, daripada makan enak karena bantuan asing tapi kemudian tetap diperbudak!"

sumber: National Geographic ed.08.2021

Making the family as a cultural force prosperous and harmonious